Terkadang, yang paling jujur bukanlah yang terucap, tapi yang sempat dituliskan diam-diam. Di catatan ponsel, di balik halaman terakhir jurnal, atau di folder yang namanya saja sudah meminta untuk tak dibuka.
Kita semua pernah menyimpan sesuatu. Rasa yang terlalu rumit untuk dijelaskan, cerita yang terlalu pribadi untuk dibagikan, atau luka yang terlalu dalam untuk dipamerkan. Dan meski tak sempat diceritakan ke siapa-siapa, tulisan diam-diam mencatat semuanya. Karena di dunia yang sibuk mendengar hanya untuk membalas, menulis jadi satu-satunya tempat kita bisa benar-benar didengar, oleh diri sendiri.
Sebuah Momen Kecil yang Tak Terucap
Aku pernah ada di fase hidup yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bukan karena ada tragedi besar, tapi justru karena segalanya terasa datar. Bangun pagi rasanya berat, bukan karena begadang atau kelelahan, tapi karena aku tidak tahu lagi apa yang harus diperjuangkan. Di umur 25, saat seharusnya dunia mulai terbuka, aku justru merasa tersesat. Pekerjaan yang kulakoni jauh dari impian masa kuliah, gaji cukup buat hidup tapi tidak cukup buat merasa hidup, dan teman-teman mulai terlihat "berhasil,"Â entah lewat postingan liburan, kabar menikah, atau sekedar promosi jabatan.
Sementara aku? Masih sibuk bertanya ke diri sendiri: aku ini sebenarnya mau jadi siapa?
Malam-malam jadi panjang, bukan karena kerja lembur, tapi karena otak ini tidak berhenti mikir. Overthinking, tapi kalau ditanya kenapa, aku juga bingung jawabnya. Tidak ada tempat untuk cerita karena bahkan aku sendiri belum mengerti alur pikiranku. Sampai akhirnya, aku buka laptop, bukan buat kerja, tapi buat nulis. Tidak pakai struktur, tidak pakai tujuan. Aku cuma butuh tempat untuk buang semua yang menggumpal di dada, rasa takut gagal, malu karena belum jadi apa-apa, dan iri yang diam-diam muncul saat lihat hidup orang lain terasa lebih tertata.
Tulisan itu tidak pernah kuposting. Tidak untuk dibaca siapa pun. Kusimpan diam-diam di folder bernama "jangan dibaca." Tapi bertahun-tahun kemudian, tanpa sengaja aku menemukannya kembali. Kubaca ulang, dan untuk pertama kalinya aku merasa dekat dengan versi diriku yang dulu. Ternyata, aku tidak seasing itu dengan dia. Ternyata, momen-momen kecil yang dulu terasa tidak penting itu, punya tempat tersendiri di perjalananku menjadi dewasa.
Tentang Kita di Era Digital
Kita hidup di zaman yang serba cepat. Semua serba instan, semua bisa diakses dalam hitungan detik. Momen datang dan pergi begitu saja, nyaris tanpa sempat kita resapi. Kita lebih sering membagikan foto ketimbang menuliskan cerita di baliknya. Padahal, satu gambar belum tentu bisa menjelaskan mengapa senyum itu terasa dipaksakan, atau kenapa di balik pemandangan indah itu, ada hati yang sedang lelah.
Kita menyimpan ratusan story, tapi lupa mendengarkan isi hati sendiri. Kita tahu tren apa yang lagi viral, tapi tidak tahu apa yang sedang benar-benar kita rasakan. Dunia terasa ramai, tapi kita sering merasa sepi di tengah keramaian itu. Semua terasa ringan, menyenangkan, dan mudah sampai kita sadar: tidak semua yang kita lewati meninggalkan jejak untuk dikenang. Karena saat semuanya hanya lewat di layar, seringkali tak ada yang benar-benar menetap di ingatan.
Dalam dunia yang penuh scroll dan swipe, tulisan perlahan jadi barang langka. Padahal, tulisan adalah satu-satunya cara untuk memperlambat waktu. Untuk benar-benar berhenti sejenak dan merasakan. Menulis bukan soal estetika atau keterampilan, tapi soal keberanian untuk mengingat. Mengikat makna yang mudah hanyut di tengah derasnya informasi. Lewat tulisan, kita bisa kembali ke versi diri yang sudah hampir kita lupakan. Versi yang jujur, rapuh, tapi nyata.
Digital Overload = Memory Loss?
Setiap hari, kita dihujani oleh ribuan informasi. Bangun tidur, belum sempat cuci muka, notifikasi sudah ramai. Scroll medsos beberapa menit saja, kita sudah tahu kabar dunia, gosip selebriti, tren terbaru, hingga quote motivasi yang entah berapa kali lewat di timeline. Tapi anehnya, di malam hari, kita sering lupa apa saja yang benar-benar kita baca tadi pagi.