Banyak yang membayangkan hidup seorang penulis itu penuh romantisme. Duduk di kafe, menulis sambil ditemani kopi panas, lalu karyanya viral, diterbitkan, dan menghasilkan banyak uang. Tapi kenyataannya... tidak semanis itu.
Hidup sebagai penulis modern adalah hidup yang penuh perjuangan. Bukan cuma soal ide dan kata-kata, tapi juga soal konsistensi, mental, dan keberanian untuk terus menulis di tengah ketidakpastian.
Ketika Isi Kepala Terus Dikuras, Tapi Dompet Tak Selalu Terisi
Menjadi penulis berarti siap menerima kenyataan bahwa isi kepala kita sering kali lebih berharga dari angka yang tertulis di invoice. Menyusun artikel, merangkai cerita, membuat konten yang menginspirasi, semua itu butuh energi mental yang luar biasa. Tapi, upahnya kadang tidak sebanding.
Banyak penulis yang harus berjuang dari proyek ke proyek, kadang tanpa jaminan kesinambungan. Revisi yang datang bertubi-tubi, klien yang berubah pikiran di tengah jalan, hingga tulisan yang ditolak tanpa alasan. Semua itu bagian dari keseharian yang tidak semua orang lihat.
Tak jarang juga, penulis harus mengambil proyek-proyek yang tidak sesuai minat atau keahliannya, hanya demi menyambung hidup. Menulis bukan dari hati, tapi dari rasa lapar. Ide-ide cemerlang yang seharusnya bisa jadi karya monumental akhirnya harus dikemas seadanya, karena tenggat mepet dan bayaran terlalu kecil untuk bisa membeli waktu lebih panjang.
Kita belajar berdamai. Dengan ketidakpastian. Dengan klien yang berubah pikiran semaunya. Dengan ekspektasi yang tinggi tapi anggaran yang rendah. Kita hidup dalam siklus revisi dan revisi yang menguji kesabaran. Bukan karena kita tidak mampu menulis dengan baik, tapi karena standar kesempurnaan kadang tak pernah diberi definisi yang jelas.
Menulis Bukan Sekedar Mencari Nasi
Meski kadang lelah dan penuh tantangan, banyak dari kita tetap menulis. Bukan karena tidak punya pilihan lain, tapi karena menulis adalah panggilan. Sebuah kebutuhan batin yang tak bisa diabaikan begitu saja. Kita menulis bukan hanya agar dapur tetap ngebul, tapi karena ada sesuatu dalam diri kita yang akan "mati pelan-pelan" kalau terlalu lama tidak menulis.
Ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa dibeli saat tulisan kita dibaca orang lain. Saat seseorang bilang, "Tulisanmu bikin aku mikir," atau "Aku ngerasa banget apa yang kamu tulis," di situlah kita merasa ada yang terhubung. Kata-kata yang kita tulis bukan cuma sekadar rangkaian huruf, tapi jembatan rasa dari satu manusia ke manusia lainnya.
Dan anehnya, justru di saat kita merasa paling rapuh, tulisan-tulisan itu bisa jadi penguat bagi orang lain. Kadang kita nulis untuk bertahan, tapi orang lain membacanya untuk bangkit. Kadang kita nulis sambil menangis, tapi pembacanya malah tersenyum lega karena merasa tidak sendirian.
Di situ, kita sadar: menulis bukan sekedar profesi. Ia adalah ibadah kecil yang menjaga kesadaran. Menulis membuat kita tetap berpikir jernih di tengah dunia yang penuh distraksi. Menulis memaksa kita membaca, merenung, memahami, lalu menyusun ulang dunia dalam bentuk yang lebih bisa dipahami.