Pertanyaan-pertanyaan itu datang seperti gerimis tipis yang pelan-pelan meresap ke dalam keyakinan. Bikin ragu, bikin lelah, kadang bikin ingin berhenti.
Tapi justru di titik-titik seperti itu, kita diuji.
Apakah kita masih mau menulis walau tak selalu dipuji?
Apakah kita tetap belajar meski tak selalu diapresiasi?
Kalau jawabannya masih iya, meski pelan, meski gemetar, maka kamu bukan sekedar penulis. Kamu pejuang narasi. Orang yang memilih bertahan meski jalannya sepi, yang tetap menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya keraguan.
Menulis itu jalan sunyi, tapi bukan jalan sia-sia. Karena di sana, kamu tidak hanya sedang menciptakan cerita. Kamu sedang menjaga warisan berpikir. Menyusun jejak yang suatu hari bisa menjadi penuntun bagi orang lain.
Dan meski tak semua orang mengerti, kamu tahu: setiap huruf yang kamu tulis adalah bentuk perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat lupa.
Menulis Adalah Perlawanan Halus Melawan Lupa
Di era yang serba cepat, saat notifikasi datang lebih dulu daripada niat, orang-orang jadi mudah lupa.
Lupa sejarah.
Lupa nilai.
Lupa bagaimana rasanya benar-benar berpikir.
Segalanya berjalan dalam ritme instan scroll, like, skip. Informasi datang silih berganti, tapi jarang tinggal lama di kepala. Di tengah hiruk-pikuk ini, menulis adalah bentuk perlawanan yang sunyi namun dalam. Perlawanan terhadap lupa.
Lewat tulisan, kita menyuarakan hal-hal yang sebenarnya penting, tapi terlalu sering tersisih. Kita mengangkat cerita-cerita kecil yang tak pernah masuk berita, tapi menyimpan makna. Kita memelihara akal sehat di tengah dunia yang makin gaduh oleh opini tanpa isi. Kita menjaga empati saat empati sendiri mulai dianggap beban.
Menulis adalah cara kita bilang: "Ini penting. Tolong jangan lupakan."
Kita merekam jejak zaman, bukan hanya peristiwa, tapi juga perasaan. Kita mencatat bukan cuma apa yang terjadi, tapi juga bagaimana manusia mengalaminya. Dan dari situ, tulisan menjadi lebih dari sekedar rangkaian kata. Ia jadi pengingat, penanda, penjaga.