Mohon tunggu...
Angga
Angga Mohon Tunggu... Content Writer

Seorang penulis yang suka dengan dunia teknologi

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Untukku dan Para Penulis: Teruslah Belajar, Teruslah Menulis

28 April 2025   12:15 Diperbarui: 28 April 2025   10:40 2683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mesin Ketik  Klasik (Sumber: Unsplash/Daria Kraplak )

Banyak yang membayangkan hidup seorang penulis itu penuh romantisme. Duduk di kafe, menulis sambil ditemani kopi panas, lalu karyanya viral, diterbitkan, dan menghasilkan banyak uang. Tapi kenyataannya... tidak semanis itu.

Hidup sebagai penulis modern adalah hidup yang penuh perjuangan. Bukan cuma soal ide dan kata-kata, tapi juga soal konsistensi, mental, dan keberanian untuk terus menulis di tengah ketidakpastian.

Ketika Isi Kepala Terus Dikuras, Tapi Dompet Tak Selalu Terisi

Menjadi penulis berarti siap menerima kenyataan bahwa isi kepala kita sering kali lebih berharga dari angka yang tertulis di invoice. Menyusun artikel, merangkai cerita, membuat konten yang menginspirasi, semua itu butuh energi mental yang luar biasa. Tapi, upahnya kadang tidak sebanding.

Banyak penulis yang harus berjuang dari proyek ke proyek, kadang tanpa jaminan kesinambungan. Revisi yang datang bertubi-tubi, klien yang berubah pikiran di tengah jalan, hingga tulisan yang ditolak tanpa alasan. Semua itu bagian dari keseharian yang tidak semua orang lihat.

Tak jarang juga, penulis harus mengambil proyek-proyek yang tidak sesuai minat atau keahliannya, hanya demi menyambung hidup. Menulis bukan dari hati, tapi dari rasa lapar. Ide-ide cemerlang yang seharusnya bisa jadi karya monumental akhirnya harus dikemas seadanya, karena tenggat mepet dan bayaran terlalu kecil untuk bisa membeli waktu lebih panjang.

Kita belajar berdamai. Dengan ketidakpastian. Dengan klien yang berubah pikiran semaunya. Dengan ekspektasi yang tinggi tapi anggaran yang rendah. Kita hidup dalam siklus revisi dan revisi yang menguji kesabaran. Bukan karena kita tidak mampu menulis dengan baik, tapi karena standar kesempurnaan kadang tak pernah diberi definisi yang jelas.

Menulis Bukan Sekedar Mencari Nasi

Meski kadang lelah dan penuh tantangan, banyak dari kita tetap menulis. Bukan karena tidak punya pilihan lain, tapi karena menulis adalah panggilan. Sebuah kebutuhan batin yang tak bisa diabaikan begitu saja. Kita menulis bukan hanya agar dapur tetap ngebul, tapi karena ada sesuatu dalam diri kita yang akan "mati pelan-pelan" kalau terlalu lama tidak menulis.

Ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa dibeli saat tulisan kita dibaca orang lain. Saat seseorang bilang, "Tulisanmu bikin aku mikir," atau "Aku ngerasa banget apa yang kamu tulis," di situlah kita merasa ada yang terhubung. Kata-kata yang kita tulis bukan cuma sekadar rangkaian huruf, tapi jembatan rasa dari satu manusia ke manusia lainnya.

Dan anehnya, justru di saat kita merasa paling rapuh, tulisan-tulisan itu bisa jadi penguat bagi orang lain. Kadang kita nulis untuk bertahan, tapi orang lain membacanya untuk bangkit. Kadang kita nulis sambil menangis, tapi pembacanya malah tersenyum lega karena merasa tidak sendirian.

Di situ, kita sadar: menulis bukan sekedar profesi. Ia adalah ibadah kecil yang menjaga kesadaran. Menulis membuat kita tetap berpikir jernih di tengah dunia yang penuh distraksi. Menulis memaksa kita membaca, merenung, memahami, lalu menyusun ulang dunia dalam bentuk yang lebih bisa dipahami.

Meski terdengar muluk, kita percaya dengan tulus bahwa tulisan bisa jadi alat untuk mengubah. Mengubah cara orang berpikir. Mengubah cara mereka memandang hidup. Mengubah arah kebijakan. Atau paling tidak, mengubah hari buruk seseorang jadi sedikit lebih ringan.

Menulis adalah cara kita memberi. Memberi tanpa tahu siapa yang akan menerima. Memberi tanpa pamrih, hanya dengan harapan: semoga ada yang terbantu, semoga ada yang tercerahkan, semoga ada yang merasa lebih kuat setelah membaca.

"Bayaran" yang Tak Kasat Mata, Tapi Begitu Bermakna

Penulis hidup dalam dunia yang tak selalu memberi penghargaan dalam bentuk uang. Tapi entah kenapa, banyak dari kita tetap bertahan. Karena sesungguhnya, ada "bayaran" lain yang nilainya tak bisa ditulis di nota tapi sangat terasa di hati.

Seperti komentar pembaca yang bilang, "Aku merasa ditemani lewat tulisanmu." Atau pesan pribadi dari seseorang yang mengaku tak lagi merasa sendiri setelah membaca cerita yang kita tulis. Momen-momen seperti itu sering kali jadi penyemangat paling ampuh, jauh melebihi angka di rekening.

Lalu ada tulisan-tulisan yang tanpa kita sadari jadi rujukan. Di-share ke mana-mana, dikutip oleh orang-orang yang bahkan tak kita kenal. Tulisan kita jadi bagian dari diskusi, bahan refleksi, atau bahkan titik balik seseorang dalam mengambil keputusan. Kita tidak tahu kapan dan bagaimana itu terjadi, tapi kita tahu: tulisan punya nyawa yang bisa hidup lebih lama dari sekedar deadline.

Kadang, kita juga terlibat dalam proyek-proyek yang punya dampak sosial. Menulis untuk kampanye kemanusiaan, edukasi literasi, atau isu-isu yang selama ini hanya terdengar samar. Kita mungkin tidak dapat bayaran besar, tapi kita tahu tulisan itu sedang bekerja untuk sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Semua itu adalah bentuk penghargaan yang tidak kasat mata. Tak bisa dimasukkan dalam proposal atau dibanggakan di CV. Tapi justru di situlah letak nilainya. Karena bukan soal berapa yang kita dapat, tapi berapa banyak yang bisa kita beri. Bukan hanya tentang menulis untuk dibaca, tapi menulis untuk berdampak. Dan mungkin inilah mengapa kita tetap menulis.

Setiap kata yang kita bagi, bisa jadi adalah pelita bagi seseorang di luar sana. Kita menulis untuk menghidupi jiwa, bukan sekedar mengisi dompet.

Jalan Sunyi yang Tak Semua Orang Mengerti

Jujur saja, kadang kita merasa sendirian. Bukan cuma karena deadline yang datang diam-diam tengah malam, atau karena revisi yang harus dikerjakan meski hati lagi kosong. Tapi karena tidak semua orang mengerti kenapa kita begitu keras kepala mengejar kata-kata.

Di mata sebagian orang, kita ini hanya "tukang ketik." Cuma duduk depan laptop, kelihatan santai, seolah-olah hidup kita tanpa beban. Mereka tak tahu bahwa di balik satu paragraf, mungkin ada belasan draft yang dibuang. Bahwa di balik satu artikel, ada jam-jam panjang berisi riset, kebimbangan, dan dialog batin yang tiada habisnya.

Apalagi ketika tulisan kita dicibir, karya kita diabaikan, atau orang sekitar mulai bertanya,
"Emang nulis bisa jadi masa depan?"
"Kamu yakin ini jalan yang bener?"

Pertanyaan-pertanyaan itu datang seperti gerimis tipis yang pelan-pelan meresap ke dalam keyakinan. Bikin ragu, bikin lelah, kadang bikin ingin berhenti.

Tapi justru di titik-titik seperti itu, kita diuji.
Apakah kita masih mau menulis walau tak selalu dipuji?
Apakah kita tetap belajar meski tak selalu diapresiasi?

Kalau jawabannya masih iya, meski pelan, meski gemetar, maka kamu bukan sekedar penulis. Kamu pejuang narasi. Orang yang memilih bertahan meski jalannya sepi, yang tetap menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya keraguan.

Menulis itu jalan sunyi, tapi bukan jalan sia-sia. Karena di sana, kamu tidak hanya sedang menciptakan cerita. Kamu sedang menjaga warisan berpikir. Menyusun jejak yang suatu hari bisa menjadi penuntun bagi orang lain.

Dan meski tak semua orang mengerti, kamu tahu: setiap huruf yang kamu tulis adalah bentuk perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat lupa.

Menulis Adalah Perlawanan Halus Melawan Lupa

Di era yang serba cepat, saat notifikasi datang lebih dulu daripada niat, orang-orang jadi mudah lupa.

Lupa sejarah.
Lupa nilai.
Lupa bagaimana rasanya benar-benar berpikir.

Segalanya berjalan dalam ritme instan scroll, like, skip. Informasi datang silih berganti, tapi jarang tinggal lama di kepala. Di tengah hiruk-pikuk ini, menulis adalah bentuk perlawanan yang sunyi namun dalam. Perlawanan terhadap lupa.

Lewat tulisan, kita menyuarakan hal-hal yang sebenarnya penting, tapi terlalu sering tersisih. Kita mengangkat cerita-cerita kecil yang tak pernah masuk berita, tapi menyimpan makna. Kita memelihara akal sehat di tengah dunia yang makin gaduh oleh opini tanpa isi. Kita menjaga empati saat empati sendiri mulai dianggap beban.

Menulis adalah cara kita bilang: "Ini penting. Tolong jangan lupakan."

Kita merekam jejak zaman, bukan hanya peristiwa, tapi juga perasaan. Kita mencatat bukan cuma apa yang terjadi, tapi juga bagaimana manusia mengalaminya. Dan dari situ, tulisan menjadi lebih dari sekedar rangkaian kata. Ia jadi pengingat, penanda, penjaga.

Menulis itu bukan hanya tentang ide, tapi tentang keberanian untuk berdiri di antara keramaian yang memilih diam. Tentang upaya menjaga nurani tetap menyala, bahkan ketika dunia seakan tak peduli.

Karena ketika dunia lupa, tulisanlah yang mengingatkan. Dan seorang penulis, setiap kali menulis, sedang ikut menjaga ingatan kolektif manusia.

Untuk Para Penulis: Jangan Berhenti

Kepada kamu yang masih setia menulis meski dunia tak selalu ramah, terima kasih. Dunia butuh kamu. Literasi butuh kamu. Generasi selanjutnya butuh kamu.

Terus belajar. Terus menulis. Karena sejatinya, menulis bukan cuma tentang "menjual kata." Tapi tentang menjaga nurani, menyampaikan kebenaran, dan membagikan cahaya meski hanya setitik.

Kalau kamu adalah penulis, artikel ini buat kamu. Kalau kamu adalah pembaca, ingatlah: di balik tiap tulisan yang kamu nikmati, ada sosok yang diam-diam terus berjuang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun