MASA DEPAN AIR DI TENGAH BADAI PERUBAHAN IKLIM
Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tidak akan ada manusia, hewan, tumbuhan, bahkan peradaban. Namun, sering kali kita lupa betapa vitalnya peran air karena keberadaannya terasa begitu dekat dan mudah dijangkau. Krisis baru terasa ketika air tiba-tiba sulit didapatkan, entah karena kekeringan panjang atau karena tercemar.
Di tengah perubahan iklim yang semakin nyata, masa depan air menjadi pertanyaan besar: apakah generasi mendatang masih bisa menikmati sumber kehidupan ini seperti kita sekarang?
Air, Nadi Kehidupan yang Tak Tergantikan
Pernahkah kita membayangkan dunia tanpa air bersih sehari saja?
Sejak awal peradaban, air telah menjadi pusat kehidupan manusia. Kota-kota besar lahir di tepi sungai, irigasi menopang pertanian, dan air bersih menjaga kesehatan. Di Indonesia, air memegang peranan penting dalam hampir semua sektor. Pertanian membutuhkan irigasi, industri butuh pasokan air, rumah tangga tidak bisa lepas dari air untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan energi listrik sebagian besar kita bersumber dari bendungan dan PLTA. Dengan kata lain, tanpa air, kehidupan akan berhenti.
Menurut Subagyono dan Surmaini (2018), ketidakseimbangan dalam siklus hidrologi akibat perubahan iklim bisa mengganggu ketersediaan air di permukaan dan bawah tanah. Fenomena ekstrem seperti hujan lebat dan kekeringan berkepanjangan bukan sekadar kejadian acak, tetapi akibat gangguan alami yang diperparah aktivitas manusia.
Ancaman Nyata dari Perubahan Iklim
Bagaimana perubahan iklim mengubah kehidupan kita sehari-hari?
Peran vital air kini menghadapi ancaman serius. Perubahan iklim membuat siklus air terganggu, sehingga musim hujan dan kemarau tak lagi bisa diprediksi. Curah hujan ekstrem menimbulkan banjir bandang, sementara kemarau panjang membawa kekeringan yang parah. Menurut BMKG (2023), fenomena El Nio dan La Nia semakin sering muncul, menyebabkan pola iklim Indonesia semakin sulit diperkirakan. Hujan yang datang tiba-tiba dengan intensitas tinggi sering kali hanya menjadi limpasan air permukaan. Alih-alih meresap ke tanah untuk memperkuat cadangan air bawah tanah, air hujan justru mengalir deras dan memicu banjir. Kondisi ini diperburuk oleh perubahan tata guna lahan.
Penelitian di DAS Majalaya oleh Dicky Muhamad Fadli (2023) menunjukkan kombinasi perubahan iklim dan alih fungsi lahan menurunkan debit air secara signifikan, baik pada musim kering maupun basah. Studi lain di DAS Welang yang dilakukan oleh Putra dkk. (2023) memperkirakan frekuensi kekeringan meteorologi akan meningkat di bawah skenario perubahan iklim. Masalah air bersih kini bukan sekadar masalah teknis, tetapi fenomena sistemik yang memengaruhi pangan, energi, dan kesehatan.
Krisis Air, Krisis Kehidupan
Apakah kekurangan air benar-benar bisa mengancam kehidupan kita?
Kekurangan air membawa dampak langsung dan kompleks. Pertama, sektor pangan sangat bergantung pada air. Kekeringan mengganggu irigasi dan produktivitas pertanian, mengancam ketahanan pangan nasional. Penelitian menunjukkan gangguan ketersediaan air memengaruhi produktivitas tebu, padi, dan jagung.
Kedua, sektor kesehatan ikut terancam. Air yang tercemar menjadi sarang penyakit menular seperti diare, kolera, dan tifus. Selama kekeringan, konsentrasi polutan dalam air meningkat, menjadikan air tidak layak konsumsi. WHO (2021) menekankan bahwa ketersediaan air bersih adalah indikator utama kesehatan masyarakat, dan kekurangan air bisa memperparah beban penyakit menular.
Ketiga, krisis air bisa memicu konflik sosial. Ketika satu desa hanya memiliki satu sumber mata air yang menipis, warga bersaing untuk mendapatkannya. Konflik horizontal bisa muncul, dan secara ekonomi, krisis air menaikkan biaya produksi serta harga barang. Dengan kata lain, krisis air berarti krisis kehidupan dan stabilitas sosial.
Musim Kemarau yang Kian Panjang
Pernahkah Anda merasakan sungai yang dulu mengalir deras kini hanya menyisakan aliran tipis?
Musim kemarau kini terasa lebih panjang dan keras dibandingkan beberapa dekade lalu. Sungai-sungai yang dulu mengalir deras kini hanya meninggalkan aliran tipis, sumur warga mengering lebih cepat, dan cadangan air sering menipis. Panas yang menyengat membuat banyak warga khawatir, terutama di pedesaan yang bergantung pada sumur dan sungai lokal. Fenomena ini erat kaitannya dengan pemanasan global, yang mempercepat penguapan dari tanah, sungai, dan waduk, sebagaimana dicatat IPCC (2022). Embung yang biasanya bertahan di musim kering kini lebih cepat menyusut. Dampaknya nyata: petani terancam gagal panen, sementara warga harus berjalan lebih jauh untuk memperoleh air minum.
Pemanasan Kutub Utara dan Implikasinya
Tahukah Anda, es yang mencair di Kutub Utara memengaruhi air di Indonesia?
Pemanasan Kutub Utara atau Arctic Amplification juga berkontribusi pada perubahan iklim global. Wilayah kutub memanas lebih cepat dibandingkan rata-rata global akibat menurunnya es laut yang mengurangi daya pantul (albedo), sehingga lebih banyak energi matahari terserap (BMKG, 2023). Akibatnya, siklus hidrologi global ikut terganggu. Atmosfer menahan lebih banyak uap air, meningkatkan curah hujan ekstrem di beberapa tempat dan memperparah kekeringan di tempat lain (BMKG, 2024). Perubahan ini berdampak pada pola monsun Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada siklus hujan tahunan. Dengan kata lain, mencairnya es di Kutub Utara bukan hanya masalah jauh di sana, tetapi juga berimplikasi langsung terhadap ketersediaan air di negeri ini.
Air dan Keadilan Sosial
Apakah air menjadi hak semua orang?
Air bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga isu keadilan sosial. Di kota besar, masyarakat bisa dengan mudah membeli air galon atau air kemasan. Namun, di desa-desa terpencil, warga sering harus berjalan berkilometer hanya untuk mendapatkan seember air. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam akses terhadap sumber daya paling dasar. Keadilan air menjadi tantangan besar di Indonesia. Pembangunan infrastruktur air bersih tidak boleh hanya terfokus di perkotaan, tetapi juga harus menjangkau pelosok. Jika tidak, air akan berubah menjadi simbol ketidakadilan, di mana sebagian masyarakat bisa menikmatinya dengan mudah, sementara sebagian lain harus berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup.
Jika Kemarau Panjang Terjadi di Masa Depan
Bagaimana jika kemarau panjang bukan sekadar ancaman tapi kenyataan di depan mata kita?
Laporan IPCC (2022) menyebutkan bahwa peningkatan suhu global akan memperpanjang musim kering di kawasan tropis, termasuk Asia Tenggara. Jika hal ini terjadi di Indonesia, pertanian berbasis sawah akan sangat rentan. Krisis pangan bisa muncul karena produksi padi dan jagung terganggu. Di sisi lain, kebutuhan air rumah tangga meningkat saat suhu panas ekstrem, sehingga kompetisi antar-sektor makin tajam.
Indonesia harus beralih pada strategi besar: memperluas teknologi pemanenan air hujan, menyimpan air di embung saat musim hujan, serta menerapkan sistem irigasi hemat air seperti drip irrigation. Tanpa langkah ini, masyarakat pedesaan akan menjadi kelompok pertama yang merasakan beban terberat dari krisis air.
Air dan Pangan Nasional
Tahukah Anda, air adalah kunci ketahanan pangan nasional?
Air bukan hanya kebutuhan dasar rumah tangga, tetapi juga penopang utama ketahanan pangan. Hampir semua aktivitas pertanian, mulai dari menanam padi, sayuran, hingga buah-buahan, sangat bergantung pada ketersediaan air. Jika musim kemarau panjang datang, sawah-sawah menjadi retak, produksi pangan menurun, dan harga-harga bahan pokok melonjak. Pada titik ini, krisis air berubah menjadi krisis pangan.
Menurut saya, Indonesia harus segera beralih pada pola pertanian yang lebih hemat air. Teknologi irigasi tetes, sistem embung desa, hingga penggunaan varietas padi tahan kering perlu digencarkan. Sayangnya, sebagian besar petani masih mengandalkan pola irigasi tradisional yang boros air. Padahal, tanpa kemandirian air, mustahil kita bisa mencapai kemandirian pangan.
Kebijakan pangan nasional selama ini lebih banyak menekankan pada swasembada beras, tetapi melupakan swasembada air. Seharusnya, kedua hal ini berjalan beriringan. Swasembada pangan tidak akan pernah tercapai tanpa swasembada air.
Krisis Air dalam Pengalaman Sehari-hari
Pernahkah Anda merasakan sumur rumah mengering atau air keruh saat musim kemarau?
Perubahan iklim memang sering terdengar sebagai isu besar, tetapi dampaknya sudah kita rasakan langsung di sekitar rumah. Saya teringat pada musim kemarau, ketika sumur di rumah mulai mengering. Airnya pun berubah warna, agak keruh dan kekuningan, sehingga terasa kurang layak dipakai. Bahkan, ada tetangga saya yang sampai harus membawa wadah untuk mencari air ke tempat lain, atau numpang mandi di rumah orang lain yang masih memiliki cadangan air lebih baik.
Pengalaman ini membuat saya berpikir, jika di tingkat rumah tangga saja sudah terasa sulit, bagaimana dengan daerah lain yang kondisi cadangan air tanahnya lebih parah? Krisis air bukan hanya tentang kekeringan di berita, tetapi tentang keseharian masyarakat yang harus berjuang demi setetes air.
Menurut saya, inilah wajah nyata perubahan iklim yang sering tidak kita sadari. Ketika musim kemarau semakin panjang, air tanah tidak sempat terisi ulang. Ditambah lagi, kualitas air ikut menurun karena kandungan mineralnya lebih pekat, atau sumur tercampur sedimen. Maka, perubahan iklim tidak hanya mengancam ketersediaan air dari segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas.
Air, Petani, dan Ketahanan Pangan
Bagaimana jika petani kehilangan akses air?
Sebagai anak petani, saya melihat langsung dampaknya. Setiap musim kemarau, sawah yang biasanya ditanami padi sering kali kekurangan air. Untuk mengairi sawah, para petani harus menunggu giliran air dari irigasi, bahkan kadang harus membayar untuk bisa mendapatkan jatah. Kondisi ini jelas berat, karena hasil panen sangat bergantung pada cukup tidaknya pasokan air.
Jika pasokan air seret, panen bisa gagal, dan kerugian ditanggung oleh petani kecil yang sebenarnya sudah hidup pas-pasan. Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa perubahan iklim bukan hanya soal suhu global naik atau es di kutub mencair, tetapi soal bagaimana petani di desa bingung mencari air untuk menghidupi sawahnya. Air adalah penopang pangan, dan tanpa air, kita semua akan terdampak.
Contoh Sederhana Menggunakan Air dengan Bijak
Apakah kita bisa berperan dalam menjaga air mulai dari rumah sendiri?
Pengelolaan air sebenarnya bisa dimulai dari hal-hal kecil di rumah. Misalnya, mematikan keran saat menyikat gigi atau mencuci piring, menggunakan air bekas cucian beras untuk menyiram tanaman, hingga memilih ember dibanding selang saat mencuci motor. Hal sederhana seperti memperbaiki kebocoran pipa juga penting, karena kebocoran kecil bisa membuang puluhan liter air setiap hari.
Di daerah dengan curah hujan tinggi, warga juga bisa menampung air hujan menggunakan toren atau wadah sederhana. Air ini dapat digunakan untuk mencuci, menyiram, bahkan untuk cadangan saat musim kemarau. Dengan langkah praktis tersebut, masyarakat bisa mengurangi pemborosan dan sekaligus memperkuat ketahanan air rumah tangga.
Suhu Panas yang Mencekik
Apakah panas ekstrem saat musim kemarau menjadi tanda perubahan iklim yang nyata?
Sekarang pun tanda-tandanya sudah terasa. Musim kemarau bukan hanya panjang, tetapi juga diiringi suhu yang jauh lebih panas. Di siang hari, bahkan berada di dalam rumah pun tetap terasa terpanggang. Udara panas menyengat kulit, membuat aktivitas sehari-hari jadi lebih berat. Rumah yang biasanya sejuk, kini seperti oven alami.
Fenomena ini selaras dengan temuan IPCC (2022) bahwa kenaikan suhu rata-rata global memicu gelombang panas di banyak negara, termasuk Indonesia. Suhu udara yang meningkat mempercepat penguapan air, sehingga sumur, waduk, dan sungai lebih cepat menyusut. Akibatnya, cadangan air yang seharusnya bisa bertahan lebih lama, justru cepat habis.
Hujan yang Tak Lagi Pasti
Pernahkah Anda berharap hujan, tapi langit tetap kering?
Ironisnya, ketika kita benar-benar butuh hujan, langit tetap kering. Tapi saat belum waktunya, hujan turun sebentar saja, lalu menghilang tanpa sempat memberi manfaat. Pola musim yang kacau ini jelas menunjukkan gangguan pada siklus hidrologi. Curah hujan ekstrem yang singkat membuat air hujan hanya jadi limpasan yang terbuang ke laut, bukan terserap ke tanah. Sementara itu, di saat kita benar-benar haus akan air, langit enggan memberi.
Air sebagai Isu Global Abad 21
Apakah krisis air hanya masalah Indonesia?
Krisis air tidak hanya terjadi di Indonesia. Di India, jutaan orang harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan beberapa liter air. Di Afrika Timur, kekeringan panjang membuat ternak mati dan petani gagal panen. Bahkan di negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat, beberapa wilayah menghadapi penurunan drastis cadangan air tanah akibat eksploitasi berlebihan.
PBB sudah mengingatkan bahwa abad ke-21 akan ditandai dengan krisis air global (UN World Water Development Report, 2023), bukan hanya krisis energi. Air yang seharusnya menjadi hak dasar manusia, kini semakin langka dan bisa berubah menjadi komoditas mahal. Jika tidak ada upaya serius untuk menjaga siklus air dan memperlakukan air sebagai sumber kehidupan bersama, konflik perebutan air bisa menjadi kenyataan di masa depan.
Pengalaman Caruban, Madiun (2020)
Bagaimana dampak kemarau panjang terhadap masyarakat lokal?
Pada tahun 2020, wilayah Caruban, Kabupaten Madiun, turut merasakan dampak musim kemarau yang cukup panjang. Data BMKG mencatat bahwa Caruban termasuk dalam daerah dengan hari tanpa hujan terpanjang pada pertengahan tahun tersebut. Kondisi ini membuat sumber-sumber air mulai menipis, sumur warga mengering, dan kebutuhan air bersih menjadi semakin sulit dipenuhi.
Bagi masyarakat, kekeringan tahun itu tidak hanya sebatas berkurangnya pasokan air untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengganggu sektor pertanian. Tanaman padi dan palawija yang bergantung pada ketersediaan air irigasi menjadi layu, sebagian gagal panen, sehingga menambah beban ekonomi warga. Pemerintah daerah melalui BPBD melakukan langkah-langkah mitigasi, seperti pemetaan daerah rawan dan menyiapkan bantuan distribusi air bersih, meskipun tidak semua wilayah tercatat secara rinci dalam laporan resmi.
Secara keseluruhan, kekeringan tahun 2020 di Caruban menjadi pengingat bahwa fenomena alam ini bukan sekadar masalah musiman, melainkan tantangan yang perlu diantisipasi dengan pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, kesadaran masyarakat untuk hemat air, dan dukungan kebijakan yang berpihak pada ketahanan lingkungan.
Jalan Keluar: Antara Kebijakan dan Kesadaran
Apa yang bisa kita lakukan bersama untuk menjaga air?
Pemerintah berperan dalam pembangunan waduk, embung, sumur resapan, konservasi hutan, hingga pengolahan limbah. Regulasi juga harus lebih tegas agar air tidak diperlakukan hanya sebagai komoditas. Masyarakat berperan dengan hemat air, menjaga sungai, hingga membuat penampungan air hujan. Akademisi bisa menyumbang inovasi, seperti sistem pemanenan air hujan di Sukagalih, Garut yang diterapkan Arifin dkk. (2023). Kearifan lokal juga penting. Program ProKlim (KLHK, 2025) menekankan pengelolaan air berbasis komunitas sebagai strategi adaptasi perubahan iklim.
Refleksi untuk Masa Depan
Mengapa menjaga air sama pentingnya dengan menjaga peradaban?
Berbicara tentang masa depan air sama dengan berbicara tentang masa depan peradaban. Pertumbuhan ekonomi tidak ada artinya jika generasi mendatang harus berjalan jauh hanya untuk seember air. Air bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi isu keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Menjaga air adalah panggilan moral sekaligus strategi keberlanjutan. Menjaga air bukan hanya tanggung jawab lokal atau nasional, tetapi juga isu kemanusiaan global. Setiap tetes air yang kita hemat hari ini berarti kita ikut berkontribusi menjaga perdamaian dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Penutup
Air adalah sumber kehidupan sekaligus sumber peradaban. Di tengah badai perubahan iklim, masa depan air berada di persimpangan. Namun, masa depan tidak harus suram. Jika pemerintah, masyarakat, akademisi, dan komunitas lokal bergerak bersama, air akan tetap menjadi sumber kehidupan bagi generasi mendatang. Menjaga air berarti menjaga kehidupan. Dan menjaga kehidupan berarti menjaga masa depan.
Mari hemat air mulai dari rumah, agar generasi mendatang tetap bisa menikmati sumber kehidupan ini. Setiap langkah kecil kita dalam menjaga air adalah investasi untuk masa depan yang berkelanjutan. Ayo bersama-sama bertindak nyata demi air bersih dan kehidupan yang lestari.
Daftar Pustaka
Arifin, A., dkk. (2023). Sistem pemanen air hujan sebagai strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kelurahan Sukagalih Garut. Jurnal Abisatya Dharma
Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). (2025). Krisis air dan ketahanan pangan di Indonesia: BMKG sebut restorasi sungai dan pemanenan air hujan sebagai solusi strategis. BMKG.
Fadli, D. M. (2023). Prediksi ketersediaan air akibat perubahan tataguna lahan dan iklim pada DAS Majalaya. Jurnal Konstruksi.
Filter Air. (2025). Dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air di Indonesia. Malang.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2022). Climate change 2022: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2025). Program Kampung Iklim (ProKlim).
Putra, M. A., dkk. (2023). Analisis kekeringan meteorologi berdasarkan skenario perubahan iklim pada DAS Welang. Jurnal Teknologi Rekayasa Sumber Daya Air.
Subagyono, K., & Surmaini, E. (2018). Pengelolaan sumberdaya iklim dan air untuk antisipasi perubahan iklim. Jurnal Meteorologi dan Geofisika.
World Health Organization (WHO). (2021). Health and climate change global survey report 2021.
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). (2025). Melindungi alam, melestarikan kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI