Krisis Air, Krisis Kehidupan
Apakah kekurangan air benar-benar bisa mengancam kehidupan kita?
Kekurangan air membawa dampak langsung dan kompleks. Pertama, sektor pangan sangat bergantung pada air. Kekeringan mengganggu irigasi dan produktivitas pertanian, mengancam ketahanan pangan nasional. Penelitian menunjukkan gangguan ketersediaan air memengaruhi produktivitas tebu, padi, dan jagung.
Kedua, sektor kesehatan ikut terancam. Air yang tercemar menjadi sarang penyakit menular seperti diare, kolera, dan tifus. Selama kekeringan, konsentrasi polutan dalam air meningkat, menjadikan air tidak layak konsumsi. WHO (2021) menekankan bahwa ketersediaan air bersih adalah indikator utama kesehatan masyarakat, dan kekurangan air bisa memperparah beban penyakit menular.
Ketiga, krisis air bisa memicu konflik sosial. Ketika satu desa hanya memiliki satu sumber mata air yang menipis, warga bersaing untuk mendapatkannya. Konflik horizontal bisa muncul, dan secara ekonomi, krisis air menaikkan biaya produksi serta harga barang. Dengan kata lain, krisis air berarti krisis kehidupan dan stabilitas sosial.
Musim Kemarau yang Kian Panjang
Pernahkah Anda merasakan sungai yang dulu mengalir deras kini hanya menyisakan aliran tipis?
Musim kemarau kini terasa lebih panjang dan keras dibandingkan beberapa dekade lalu. Sungai-sungai yang dulu mengalir deras kini hanya meninggalkan aliran tipis, sumur warga mengering lebih cepat, dan cadangan air sering menipis. Panas yang menyengat membuat banyak warga khawatir, terutama di pedesaan yang bergantung pada sumur dan sungai lokal. Fenomena ini erat kaitannya dengan pemanasan global, yang mempercepat penguapan dari tanah, sungai, dan waduk, sebagaimana dicatat IPCC (2022). Embung yang biasanya bertahan di musim kering kini lebih cepat menyusut. Dampaknya nyata: petani terancam gagal panen, sementara warga harus berjalan lebih jauh untuk memperoleh air minum.
Pemanasan Kutub Utara dan Implikasinya
Tahukah Anda, es yang mencair di Kutub Utara memengaruhi air di Indonesia?
Pemanasan Kutub Utara atau Arctic Amplification juga berkontribusi pada perubahan iklim global. Wilayah kutub memanas lebih cepat dibandingkan rata-rata global akibat menurunnya es laut yang mengurangi daya pantul (albedo), sehingga lebih banyak energi matahari terserap (BMKG, 2023). Akibatnya, siklus hidrologi global ikut terganggu. Atmosfer menahan lebih banyak uap air, meningkatkan curah hujan ekstrem di beberapa tempat dan memperparah kekeringan di tempat lain (BMKG, 2024). Perubahan ini berdampak pada pola monsun Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada siklus hujan tahunan. Dengan kata lain, mencairnya es di Kutub Utara bukan hanya masalah jauh di sana, tetapi juga berimplikasi langsung terhadap ketersediaan air di negeri ini.