Waspada Skoliosis pada Remaja: Deteksi Dini dan Penanganan yang Tepat
Skoliosis adalah kelainan pada tulang belakang yang membuatnya melengkung menyerupai huruf C atau S. Kondisi ini umumnya muncul pada masa pertumbuhan cepat, khususnya usia 10--15 tahun. Jika tidak ditangani dengan baik, skoliosis dapat menyebabkan nyeri punggung kronis, gangguan fungsi paru-paru dan jantung, hingga memengaruhi kepercayaan diri penderitanya.
Epidemiologi dan Kelompok Risiko
Secara global, prevalensi Adolescent Idiopathic Scoliosis (AIS) dengan sudut Cobb >10 berkisar antara 0,93--12%, dengan angka rata-rata 2--4%. Di Indonesia, sebuah penelitian di Surabaya melaporkan prevalensi sebesar 2,93% pada remaja usia 9--16 tahun.
Remaja perempuan memiliki risiko lebih tinggi, terutama menjelang menstruasi pertama, karena berada pada fase percepatan pertumbuhan tulang. Data Kemenkes menunjukkan rasio perempuan:laki-laki dapat mencapai 7:1 pada kurva >30, dan 80--85% kasus bersifat idiopatik (penyebab tidak diketahui).
Penyebab dan Faktor Risiko
Mayoritas kasus skoliosis remaja tidak diketahui penyebab pastinya. Namun, beberapa faktor yang dapat memicu atau memperparah skoliosis meliputi:
- Degeneratif: kerusakan bantalan atau sendi tulang belakang.
- Kongenital: kelainan bawaan tulang belakang sejak lahir.
- Neuromuskular: akibat kondisi seperti cerebral palsy atau distrofi otot.
- Trauma atau infeksi pada tulang belakang.
Gejala Awal dan Deteksi Mandiri
Gejala skoliosis bervariasi, namun tanda-tanda yang perlu diwaspadai meliputi:
- Bahu atau pinggul tidak sejajar.
- Salah satu tulang belikat lebih menonjol.
- Postur tubuh condong ke satu sisi.
- Nyeri punggung bawah dan kekakuan otot.
Metode sederhana untuk deteksi dini adalah tes membungkuk 90 (Adam's forward bend test). Jika terlihat tonjolan tulang rusuk atau ketidaksimetrian punggung, perlu pemeriksaan lebih lanjut. Kemenkes merekomendasikan skrining di sekolah untuk anak usia 8--15 tahun menggunakan tes ini, dibantu alat scoliometer untuk mengukur derajat kelengkungan.
Diagnosis Medis
Diagnosis skoliosis dilakukan melalui:
1. Wawancara medis tentang gejala, riwayat keluarga, dan waktu kemunculan lengkungan.
2. Pemeriksaan fisik, termasuk Adam's test.
3. Pemeriksaan radiologi seperti rontgen, CT scan, atau MRI untuk menentukan sudut Cobb dan mencari penyebab lain.
Penanganan Berdasarkan Tingkat Keparahan
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Skoliosis Idiopatik Remaja merekomendasikan penanganan bertahap:
Observasi: untuk kurva ringan, dilakukan pemantauan rutin setiap 4--6 bulan.
Ortotik (brace): digunakan hampir sepanjang hari untuk mencegah kelengkungan bertambah, terutama pada remaja yang masih tumbuh.
Terapi nyeri: obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau suntikan kortikosteroid pada kasus tertentu.
Operasi: seperti spinal fusion atau laminektomi pada kurva parah atau progresif yang mengganggu fungsi tubuh.
Pencegahan dan Gaya Hidup Sehat
Sebagian besar skoliosis idiopatik tidak dapat dicegah. Namun, beberapa langkah dapat membantu mengurangi risiko progresivitas:
- Melakukan skrining rutin di sekolah.
- Menjaga postur tubuh yang baik.
- Melakukan olahraga ringan seperti berenang, yoga, atau latihan penguatan otot inti.
- Memastikan asupan gizi seimbang untuk kesehatan tulang.
Skoliosis pada remaja sering kali tidak disadari hingga kelengkungan cukup nyata. Deteksi dini, terutama pada kelompok risiko tinggi seperti remaja perempuan, sangat penting untuk mencegah komplikasi jangka panjang. Dengan skrining rutin, edukasi masyarakat, dan penanganan sesuai pedoman Kemenkes, kualitas hidup penderita skoliosis dapat tetap terjaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI