Mohon tunggu...
Charoline Karnadi
Charoline Karnadi Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Beranilah untuk terus bermimpi dan milikilah iman dan keyakinan bahwa mimpi tersebut dapat diraih dan tidak ada segala sesuatu yang mustahil. Have faith in God and just be your self.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Unika Atma Jaya goes to Deutschland!

16 Juli 2016   21:47 Diperbarui: 17 Juli 2016   19:00 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13 Mahasiswa Pertukaran Pelajar di Westfälische Hochschule - Kampus Bocholt, Jerman.

                                                                     

Bocholt, Jerman - 16 Juli 2016

Pada hari Rabu, 20 April 2016, mahasiswa pertukaran pelajar yang berasal dari Indonesia (6 orang), Amerika (2 orang), Spanyol (1 orang), Hungaria (1 orang), Vietnam (2 orang), dan Republik Ceko (1 orang) dengan total 13 mahasiswa secara resmi disambut dan diterima oleh wakil walikota Elisabeth Kroesen di Balai Kota Bocholt. Kami para mahasiswa pertukaran pelajar dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya melakukan pertukaran pelajar di Departemen Bisnis dan Teknologi Informasi di Westfälische Hochschule - Kampus Bocholt. 

Awalnya keinginan melakukan pertukaran pelajar di Jerman adalah suatu angan-angan dan sebuah mimpi besar yang sudah saya miliki dari sejak saya menjadi mahasiswa baru. Bagi saya pribadi rasanya hampir tidak mungkin bagi saya untuk melakukan pertukaran pelajar ke Jerman, karena biayanya yang cukup mahal di tengah keadaan keluarga saya yang pada saat itu sedang membutuhkan dana untuk operasi katarak papa saya. Namun ternyata di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi sejak tahun 2016 ada program Erasmus+ yang mampu membeasiswai mahasiswa selama melakukan pertukaran pelajar ke Jerman. 

Mimpi tersebut pada akhirnya menjadi kenyataan dan tidak pernah terlintas dalam pikiran saya dan teman-teman untuk melakukan perjalanan yang sedemikian jauh dan lama serta berada cukup lama tanpa orang tua, ke sebuah negara yang amat sangat terkenal dalam berbagai bidang, baik olahraga, otomotif, ekonomi dan juga latar belakang sejarahnya. 

Saya, Monica, Marcel, dan Michelle tiba di Jerman pada tanggal 28 Maret sedangkan Tiffani dan Gabriella tiba 1 hari kemudian. Awalnya kami sering mendengar stereotype tentang warga Jerman yang enggan berbahasa Inggris jika ditanya atau dimintai tolong oleh orang asing. Ada juga yang mengatakan bahwa orang Jerman, terkenal sangat tepat waktu. Namun pada akhirnya semua pemikiran kami mengenai stereotype tersebut berubah ketika kami tiba dan mengikuti kegiatan perkuliahan. 

Kami semua tiba di kota kecil Bocholt yang berbatasan dengan Belanda pada tanggal 29 Maret. Di Bocholt kami tinggal bersama dengan host family atau istilah lainnya homestay dan langsung disambut oleh para host parent kami setibanya di stasiun. Rasanya sangat senang, karena seperti disambut oleh keluarga baru. Kemudian seiring berjalannya waktu, kami melakukan kegiatan perkuliahan di Kampus Westfälische Hochschule. Para mahasiswa Jerman ternyata sangat ramah kepada kami, namun memang benar adanya bahwa orang Jerman terkenal sangat tepat waktu. 

Terdapat sebuah pengalaman yang teman kami alami yang membuat kami belajar tentang pentingnya menghargai waktu. Pada saat pihak kampus melakukan perjalanan bersama kami ke kota Cologne bersama dengan mahasiswa pertukaran pelajar lainnya, pada akhir perjalanan dan ingin kembali ke Bocholt, ada dua orang teman kami yang telat selama 15 menit dan mendapat teguran yang cukup keras dari salah seorang profesor kami. 

Profesor kami di Jerman menjelaskan bahwa bagi orang Jerman waktu sangat berharga, tidak dapat dikembalikan lagi, dan keterlambatan lebih dari tiga menit sudah bisa dianggap cukup parah untuk dapat merusak jadwal mereka selanjutnya. Setelah teman kami beberapa kali minta maaf, masalahpun selesai dan di saat itulah kami belajar mengenai pentingnya melihat waktu sebagai sesuatu yang berharga dan cara untuk memandangnya dari sudut pandang orang Jerman atau kebudayaan lain.

Pengalaman lain yang cukup membuat kami tersanjung adalah ketika saya dan dua orang teman saya tersasar di Bocholt, sampai tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti dan menghampiri ke dekat kami. Sebelum kami bertanya, dia lebih dahulu menanyakan, "Are you lost and looking for directions? Where do you want to go?", dan kemudian dia memberikan kami arahan dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Pengalaman lainnya adalah ketika saya dan Monica di kereta api dan juga menanyakan arah ke pada orang Jerman, mereka berusaha menunjukkan arah dengan menggunakan bahasa Inggris yang sangat terbatas dan bahkan sampai menggunakan bahasa tubuh agar kami tidak tersasar. 

Sontak pengalaman-pengalaman ini langsung menepiskan semua stereotype mengenai sifat mereka yang enggan berbicara bahasa Inggris dengan orang asing. Pada saat perkuliahan pun kami juga sering dibantu oleh teman-teman Jerman kami, terutama pada saat melakukan peminjaman buku, menggunakan mesin fotokopi, dan bahkan menanyakan rekomendasi kota apa yang harus kami tuju untuk berjalan-jalan. Pada tanggal 29 Juni, dua hari sebelum kami memulai ujian akhir semester bahasa Jerman dasar di Westfälische Hochschule, ada seorang teman Jerman kami yang mengatakan, "If you want, I can teach you German and don't hesitate to contact me to ask about everything you want to know about German subject". 

Pengalaman yang juga terasa sangat berbeda adalah suasana belajar di Jerman dan di Indonesia. Di Jerman khususnya di tempat saya belajar, menurut saya para mahasiswanya sangat aktif. Ketika para dosen meminta mahasiswanya untuk membaca suatu artikel atau jurnal ilmiah untuk dibahas minggu depan, para mahasiswanya pasti membaca artikel atau jurnal tersebut, sehingga mereka bisa berdiskusi dengan dosen mereka di kelas secara efektif. Hal ini cukup berbeda dengan kelas-kelas saya di Indonesia, di mana hanya ada satu atau beberapa orang saja yang aktif dan mau belajar secara mandiri. Dosen-dosen di Jerman juga sangat menghargai pendapat dari para mahasiswanya.

 Bahkan para mahasiswa bisa mempertahankan argumen dan mengatakan pendapat apabila tidak setuju dengan pendapat dosen mereka dengan langsung menyampaikan argumen-argumen mereka. Saya rasa penghargaan dari dosen ke mahasiswa ini sangat membantu para mahasiswa agar aktif di kelas dan berani memberikan pendapat sehingga para mahasiswa menjadi lebih kritis. Di Jerman juga tidak terdapat Ujian Tengah Semester, di mana hanya ada Ujian Akhir Semester dan disetiap tahun ke tiga dari perkuliahan mereka adalah hal yang lumrah bagi para mahasiswa di Jerman untuk melakukan pertukaran pelajar ke negara lainnya. 

Perjalanan ke Kastil di Anholt dan Kota Cologne (Foto Dokumen Pribadi)
Perjalanan ke Kastil di Anholt dan Kota Cologne (Foto Dokumen Pribadi)
Dari pengalaman selama tiga bulan ini saya juga jadi lebih mengenal dekat teman-teman sesama pertukaran pelajar dari Indonesia, Monica, dan Marcel yang menjadi housemate saya, begitu juga dengan Michelle, Tiffani, dan Gabriella. Saya kagum akan sosok Monica yang sangat senang memasak dan sangat helpful, Marcel yang senang berbicara dan senang jalan-jalan serta pandai membaca peta, Michelle yang sangat mandiri dan bisa diandalkan (karena Michelle tinggal sendirian selama homestay di Jerman dan menjadi tour guide "dadakan" selama di Paris), serta pekerja keras terutama pada saat bekerja kelompok dan sangat kooperatif, Tiffani yang sangat teguh pendirian, ramah, humoris, dan rajin mencatat segala pengeluarannya dibuku kecilnya, serta Gabriella si "Princess" yang cantik, memiliki selera fashion yang bagus dan ternyata tipe orang yang "Work hard, study hard, dan party hard", karena dia kuliah sambil bekerja di bidang fashion. 

Saya juga jadi mengenal dekat host parent saya, Mrs. Evi Heumer yang dulunya adalah seorang guru olahraga, yang bersifat sangat keibuan dan sangat ramah pada saya, Monica, dan Marcel, dan suaminya Mr. Thöne Heumer yang seorang arsitek dan ternyata memiliki nama asli Erich Heumer, yang sangat senang mengajak kami bike tour ke Belanda dan jalan-jalan ke sekeliling Bocholt. Keluarga Heumer adalah keluarga yang cukup terkenal di Bocholt namun mereka sangat low profile. Host parent dari Tiffani dan Gabriella yang ternyata sangat senang bermain Golf dan seorang insinyur di Ford, serta host parent Michelle yang kedua-duanya berprofesi sebagai guru. 

Program Erasmus+ dan kerja sama antara Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dengan Westfälische Hochschule memberikan saya pengalaman yang benar-benar sangat berharga dan membuka pikiran, serta wawasan saya, bahwa kita harus mampu beradaptasi dengan baik dan mampu menempatkan diri sesuai dengan kebudayaan di tempat yang kita tinggali. Pengalaman ini pastinya sangat berkesan, dan tidak terlupakan selama seumur hidup saya. 

Terima kasih Unika Atma Jaya! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun