Kali ini kita melihat bagaimana aksi demonstrasi yang dilaksanakan kemarin, bahkan di beberapa daerah masih berlangsung sampai hari ini, ternyata berlangsung secara anarkis. Banyak gedung pemerintahan dan fasilitas umum yang dibakar oleh massa, bahkan saking chaos-nya keadaan hari ini sampai terjadi penjarahan yang di luar kebiasaan. Penjarahan terhadap rumah pejabat publik terjadi dalam semalam. Ini hal yang tidak, atau sepengetahuan saya, belum terjadi di Indonesia selama masa atau aksi demonstrasi itu berlangsung.
Aksi demonstrasi kali ini sebenarnya tidak terlalu lama dalam kurun waktu awal sampai terjadinya chaos. Waktu yang begitu singkat itu mampu membuat kita terbelalak, bagaimana massa aksi melakukan berbagai kenekadan-kenekadan yang belum saya lihat selama ini. Memang jika kita bicara pemicu, tentu saja kebijakan penguasa yang sering kali menginjak keadilan dan merampas kenyamanan masyarakat. Ini merupakan masalah lama yang mungkin akan tetap terjadi untuk bangsa ini berpuluh-puluh tahun ke depan. Namun, sikap dari para pejabat publik yang begitu arogan terasa nyata kali ini, dengan memamerkan kemewahan dan menanggapi kritik dengan kalimat yang menyakitkan.
Hilangnya empati pejabat menjadi hal yang semakin membuat kemarahan masyarakat kita, di mana seharusnya kebijakan itu mampu memberikan rasa aman dan nyaman serta perlindungan bagi masyarakat. Tapi bagai jauh panggang dari api, bahwa kebijakan yang dikritik oleh masyarakat itu justru diupayakan, sebaliknya suara itu dibuang begitu saja dan justru membuat sebuah kebijakan baru yang semakin memperlihatkan bahwa kritik terhadap kebijakan lama itu betul-betul tidak mereka pedulikan.
Namun, setelah terjadinya chaos di beberapa daerah yang mengakibatkan kerusuhan dan pembakaran gedung pemerintahan serta menjadikan Brimob musuh bersama, barulah kebijakan itu dianulir. Seolah menunjukkan bahwa suara rakyat itu bisa didengar jika mereka sudah mampu menjadikan kondisi negara ini kritis. Ini adalah budaya komunikasi kekuasaan yang tidak boleh dilanjutkan. Nantinya, sejarah akan mencatat bahwa suara dari si miskin hanya akan dianggap ada jika ia mampu "mencekik" leher pejabat itu. Selama hanya teriakan, tangisan, atau rintihan, hal itu hanyalah suara sumbang di telinga mereka.
Sejujurnya, banyaknya pejabat yang terbukti tidak memiliki kapasitas dan integritas yang mumpuni untuk mengemban amanat rakyat merupakan kekeliruan kita sebagai masyarakat, karena tidak memiliki formula yang tepat untuk menentukan kepada siapa kita mempercayakan jabatan itu, sehingga calon pejabat yang memiliki pengikut dan trending di media sosial justru menjadi acuan kita untuk memilihnya, bukan karena kemampuannya mengemban jabatan tersebut. Dan pada akhirnya, beginilah kualitas pejabat yang kita dapatkan.
Selain kapasitas dan kapabilitas pejabat yang ada, budaya kritisisme yang tidak terlalu ditanggapi oleh penguasa ini juga perlu diberikan sorotan tajam, bagaimana kritik yang keluar dari seorang yang memiliki dasar logika dan data untuk menyampaikan itu sering mendapatkan perlakuan yang tidak layak, sehingga ketika mereka berhenti atau suaranya sudah cukup lirih, barulah masyarakat dengan berbagai basic pengetahuannya turun ke jalan. Kritik dunia akademisi serta berbagai lapisan masyarakat yang secara personal memahami permasalahan atau konteks kritisnya sebenarnya lebih perlu dilestarikan dan dijunjung tinggi oleh pemerintah, karena para mereka ini sebenarnya kaum yang lebih mudah diredam emosinya jika jawaban atau tindakan yang dilakukan pemerintah mampu diterima akal sehat. Setidaknya kita lebih mudah membantah pendapat dari orang yang berpengetahuan cukup daripada orang yang kita tidak mengetahui levelitas pengetahuannya, sehingga jawaban kita akan lebih susah diterima karena cara bicara dan logikanya pun sudah berbeda.
Namun, tentu kita tidak bisa berhenti hanya pada keluhan dan catatan muram. Dari setiap tragedi, seharusnya ada pelajaran yang bisa ditarik. Kerusuhan yang terjadi kemarin bukan semata-mata letupan emosi sesaat, melainkan akumulasi dari rasa tidak percaya yang semakin menebal antara masyarakat dengan penguasa. Retaknya kepercayaan publik ini adalah alarm keras bagi siapa pun yang duduk di kursi kekuasaan.
Masyarakat kita bukan lagi masyarakat yang mudah dikelabui dengan jargon, baliho, atau sekadar janji manis di masa kampanye. Era digital telah membentuk pola pikir kritis baru: informasi bisa diakses, fakta bisa dibongkar, dan perilaku pejabat publik bisa diintai dari layar ponsel. Jika pola arogansi dan pengabaian ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin perlawanan rakyat akan menemukan bentuknya yang lebih terorganisasi dan lebih sulit diredam.
Di sinilah pentingnya perubahan paradigma dalam bernegara. Kekuasaan seharusnya hadir sebagai wadah pengayoman, bukan alat pamer kejayaan segelintir orang. Setiap kebijakan publik sejatinya adalah kontrak moral antara pemerintah dan rakyat, bukan hanya keputusan sepihak yang menguntungkan segelintir elite. Dan kontrak moral itu harus dijaga dengan kesadaran bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi, bukan pejabat yang hanya "diberi mandat sementara".
Maka, tugas kita sebagai masyarakat bukan hanya sebatas marah di jalanan ketika keadaan sudah kacau. Kita perlu memperkuat literasi politik, memperbaiki tradisi memilih, dan berani membangun ruang-ruang diskusi yang sehat agar suara kritis tidak teredam oleh hiruk-pikuk propaganda. Jika masyarakat mampu bersatu dalam kesadaran, bukan hanya dalam kemarahan, maka kita akan benar-benar menjadi penentu arah bangsa, bukan sekadar penonton yang menunggu bencana.