Mohon tunggu...
Anggi Asmara
Anggi Asmara Mohon Tunggu... Guru Swasta

Seorang manusia yang mencoba menyusun kepingan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Trip

Antara Randit, Parang, dan Kesunyian : Pengalaman Pertama Bersama Mereka

9 Agustus 2025   12:06 Diperbarui: 9 Agustus 2025   12:06 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Perjalanan kemarin agak aneh, menakutkan, namun di situ saya menemukan kedamaian.

Kisah ini sebenarnya sudah terjadi sekitar  dua atau tiga tahun lalu, tepatnya di sebuah malam pukul 21.00. Diawali dari rencana mendadak mertua saya dengan teman saya untuk mencari ikan di sungai malam itu dengan bermodal parang. Nyari ikan bermodal parang ! kalian pernah dengar itu ? kalau saya sendiri cukup familiar dengan metode itu, namun belum pernah melakukannya. Jadi dengan bermodal rasa penasaran akhirnya saya menyakatan untuk ikut dalam misi perburuan ikan malam itu. "Pasti asyik". Dugaanku yang berhasil membangkitkan rasa penasaranku untuk membersamai mereka pada malam itu. 

Setelah beberapa perlangkapan sudah disiapkan, diantaranya senter, randit (julukan untuk sebuah benda berbentuk jaring yang digunakan untuk membawa ikan hasil tangkapan ), botol minuman berisi air kopi, beberapa bungkus rokok, dan tentu saja parang, akhirnya langkah kami bertiga dimulai untuk petualangan pada malam itu. Karena senter yang kami bawa hanya ada dua, maka pembawa senter pertama berada di depan, yaitu mertua saya , teman saya, dan kemudian di baris ketiga saya dengan senter di atas kepala. Langkah saya malam itu begitu yakin dan bersemangat, karena ini hal ini adalah pengalaman pertama saya dalam mencari ikan dengan metode yang saya anggap unik ini. Tapi kalau bicara berjalan di malam hari menyusuri hutan itu bukan hal yang asing bagi saya. 

Setelah beberapa ratus langkah, akhirnya sampailah kami pada titik awal pencarian malam itu. Suasana malam yang hening seketika terhapus oleh suara gemericik air sungai, namun dinginnya betul-betul menusuk sampai ke tulang, walaupun setelah beberapa lama rasa itu kemudian memudar setelah tubuh saya berhasil menyesuaikan diri. Ayunan parang pertama dimulai, "cruk", suara khas ketika ayunan parang sudah masuk kedalam air. "Cruk, cruk", begitulah bunyi yang akan saya dengar untuk beberapa ratus meter ke depan beriringan dengan suara air sebagai latar musiknya, dan akhirnya satu ikan berhasil dikenai. Ayah mertua saya melemparkannya ke sisi sungai yang tidak teraliri air, atau terkadang diletakan di atas sebuah batu, kemudian saya di baris terakhir kebagian untuk memasukannya ke dalam randit. Sedangkan teman saya yang berada di tengah, menangkap ikan dengan cara "regem" (mengkap ikan hanya bermodal tangan kosong), dan ketika ia mendapatkannya maka kepala ikan itu langsung di pencet sampai gepeng, sehingga ikan langsung mati. Dan saya kebagian memasukan ikan itu juga ke dalam randit yang saya bawa itu. Jadi, tugas saya pada malam itu adalah sebagai "pengepul" ikan hasil tangkapan baik dengan cara "cacag" (disabet dengan parang) atau dengan regem itu tadi. Ya setidaknya begitulah mungkin sensasi yang dirasakan para kapitalis negeri ini.

Beberapa puluh meter telah dilalui, suara "cruk" masih menjadi nada yang menyibukan telinga saya. Tugas sebagai pengepul hasil tangkapan pun akhirnya memunculkan rasa jenuh, sehingga diantara tugas "pengepulan" saya itu, saya mencoba untuk ikut menangkap ikan dengan cara regem, seperti yang teman saya lakukan. Dan betapa terkejutnya saya, ketika pertama kali di malam itu saya melakukan aktifitas "peregeman", langsung mendapatkan apa yang saya cari: ikan. Sehingga hal itu langsung menjadi candu pada diri saya. Bahkan tugas utama saya untuk mengepul ikan akhirnya menjadi agak terabaikan karena keasyikan dalam aktifitas baru. 

Langkah demi langkah kami lalui pada malam itu, suara air dan tebasan parang sudah tidak lagi menjadi bunyi yang istimewa bahkan terkesan hilang, karena fokus dan pengalaman sensorik saya telah berpindah pada akfititas baru itu. Namun di tengah keasyikan saya regem, tiba-tiba suasana semakin hening. Suara kecipik kaki berjalan di tengah sungai, serta sabetan parang itu benar - benar menghilang dari telinga saya. Dan, hah. Saya ketinggalan langkah, sendirian di tempat itu. Padahal selama hidup saya yang saya ingat, belum pernah menyusuri sungai itu sampai sejauh ini. Ini adalah titik dimana saya tidak mengenali lagi letak dan kondisi alamnya. Ini sudah diluar memori saya terhadap lingkungan desa saya. Seketika itu, rasa panik mulai menjalar, namun saya mencoba tetap tenang. 

Mungkin pembaca bingung, kenapa saya bisa kehilangan mereka. Karena selain dari fokus saya yang berpindah, cara menangkap ikan dengan metode regem ini, mengharuskan tubuh saya untuk melakukan posisi berjongkok sambil memunduk, karena  pandangan saya harus terpusat pada ikan. Itulah alasan logis kenapa saya tanpa sadar tertinggal dan kemudian kehilangan jejak mereka. Di tengah rasa panik itu, muncul kebimbangan dalam diri saya. Apakah saya harus meneruskan perjalanan ini atau kembali ke rumah karena untuk kembali ke rumah itu tinggal saya mengikuti arah sungai ini. Namun bagaimanapun wadah ikan itu ada di tangan saya. Jika saya kembali maka usaha mereka dalam menangkap ikan akan sedikit sia-sia, apalagi sudah sejauh dan secapai ini, bahkan bisa jadi menimbulkan kepanikan pada diri mereka karena saya tiba-tiba menghilang. Namun jika saya menerusakan perjalanan, saya sendiri tidak tahu apakah mereka masih menelusuri sungai ini atau sudah berpindah ke sungai yang lain. Akhirnya dengan mencoba membulatkan tekad, saya memutuskan untuk melanjutkan menelusuri sungai dengan beberapa jarak yang saya tentukan. Jika sampai pada jarak itu, saya tidak menemukan mereka maka saya akan memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebenarnya saya sebelum memutusakn melangkah lagi, mencoba untuk memanggil mereka, namun apa daya. Di tengah aliran sungai yang mendominasi seluruh suara, maka panggilan saya itu tidak akan terdengar. 

Langkah pertama untuk menemukan mereka pun saya lakukan, mencoba tenang dan tetap waspada. Beberapa suara di samping sungai berhasil membuat saya kaget, walaupun tidak sampai pada rasa takut. Batang pohon yang melintang di tengah sungai, serta suasana gelap dan asing yang berada di depan saya cukup membuat keraguan untuk melanjutkan pencarian muncul, bahkan sampai pada aroma yang familiar namun janggal-pun sempat saya hirup. Namun toh itu tidak membuat saya takut apalagi menghentikan langkah saya. Saya hanya merasa kebingungan dengan suasana dan posisi alam saja, yang membuat saya ragu melangkah. Di tengah keraguan itu, saya dengan senter yang ada di kepala ini, mencoba untuk mengenali alam sekitar, karena seasing apapun itu toh ini masih di desa saya, jadi kemungkinan besar saya akan bisa mengenali letak geografisnya untuk memberikan gambaran saya bagaimana untuk menyikapi ketersesatan ini. 

Senter di kepala masih terus saya arahkan ke sekitaran sungai, bahkan kadang ke atas pohon untuk memastikan tidak ada bahaya yang menanti saya di depan. Namun di tengah aktifitas saya menyapu pohon, tiba - tiba terlihat sorot sinar yang bergerak-gerak mengarah ke atas, dan itu merupakan sinar yang berasal dari sebuah senter. Jadi ini merupakan salah satu metode untuk bisa mengetahui letak satu sama lain jika kita terpisah dengan rombongan atau rekan lain dalam perjalanan menyusuri hutan. Karena dengan menghadapkan senter ke atas, akan mudah di akses oleh orang lain yang memiliki daya jangkau di sekitarnya, sehingga akan mudah menemukan titik dimana senter itu digunakan. Dan seperti yang pembaca duga, kami pun akhirnya bisa berkumpul kembali dalam sebuah tim pemburu ikan malam itu. Setelah menedkati arah senter itu, akhirnya saya melihat kedua sosok yang tadi membersamai saya di perjalanan ini. Mertua saya terlihat sedang santai menghisap batang rokok, sedangkan teman saya langsung menawari saya kopi yang dia bawa itu tadi. 

Setelah beberapa waktu saya bersama mereka melepas lelah dengan secangkir kopi dan rokok, mertua saya kemudian mengajak kami melanjutkan perjalanan. "Yuk lanjut, ke sungai sebelah." Ucapnya. "Lewat sana ?" tanya temanku. "Enggak, kita lewat garapannya pak itu", jawab mertua saya sambil menyebut nama penggarap lahannya, namun saya sendiri lupa. " Masih enakan lewat garapan itu, lebih dekat. Sambil nanti nyari di kalen itu", timpal teman saya. Terlihat sagat jelas bagi saya, mereka begitu memahami geografis tempat itu. Sedangkan saya yang asing ini, cuman memperhatikan bagaimana mereka memutuskan kemana langkah dan jalur selanjutnya. Sedangkan bagi saya, jalur manapun tidak masalah, toh saya sendiri tidak tahu apa yang mereka pertimbangkan. Oh ya. Posisi kami sekarang ini sebenarnya belum sampai pada hulu sungai, namun jika kami tetap mengikuti alur sungai ini sangat tidak memungkinkan karena kondisinya yang mulai menanjak bahkan membentuk tebing, selain itu juga pohon tumbang yang melintang di tengah sungai serta rimbunnya tunbuhan liar sudah tidak memungkinkan kami melanjutkan pada jalur sungai ini. 

Akhirnya, setelah diskusi yang cukup intens itu, kami memutuskan melalui jalur yang mertua saya pilih. Melintasi hutan untuk sampai pada sungai sebelah. Sungai ini sebenarnya memiliki percabangan di beberapa ratus meter di belakang, dan sungai yang ke dua itulah yang akan kami tuju kali ini. 

Karena saya sudah cukup pegal disela aktifitas saya sebagai guru untuk menulis cerita ini, jadi saya memutuskan untuk melanjutkan cerintanya di esok hari, mungkin lebih tepatnya ketika saya bergairah lagi untuk melanjutkan ceritanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun