Mohon tunggu...
Ne Li
Ne Li Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu bekerja

ingin belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Kematian

7 Desember 2011   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sangat senang ketika siang itu saat terakhir kali kamu mengunjungiku kerumah sakit yang selama ini membelengguku, diantara helaian rambut yang sudah bisa dihitung jumlahnya kamu menyematkan jepit rambut bermotif kupu-kupu berwarna jingga di sela-sela helaian rambutku yang tak pernah kusentuh lagi entah sejak kapan, "jangan....... Aku pasti aneh!" aku mencoba menepis tanganmu yang sedang menata rambutku, tapi kamu tetap memasang jepit itu dikepalaku, "danu!! Apa-apaan sih???" aku mencoba menepis tanganmu, tiba-tiba kurasakan air menetes dipipiku, aku menoleh keatas, kulihat kamu menangis, "ada apa?" tanyaku kemudian, "andai waktu mempertemukan aku lebih cepat denganmu aku sangat bahagia sekali, pasti waktu itu aku bisa menata rambutmu lebih baik dari ini....." jawabmu kala itu, "Danu....walau semua seakan terlambat, tapi aku sangat bahagia bisa bersamamu sekarang." Ujarku lirih, aku sangat senang kamu begitu ingin bersamaku, dan kamu memintaku untuk menikah. aku menolakmu waktu itu, karena aku merasa kanker yang bersarang ditubuhku ini nggak lama lagi bakalan menyingkirkan aku darimu, tapi justru tuhan bicara lain, kamulah yang lebih dulu pergi.
Dimakammu yang masih basah ini aku hanya terpuruk dalam hening. Aku tak sanggup lagi menangis, air mataku tak akan mampu menunjukkan betapa sedih dan pilunya hatiku.
Kekasih dipenghujung usia, dulu kupikir begitu. Aku berpikir kamu akan menemaniku sampai malaikat memutuskan menjemputku menghadapNya. Aku pikir akulah yang akan duluan mati dan meninggalkanmu dengan tangis. dan kupikir aku tak akan pernah menangisi dirimu, tapi aku salah. Sekali lagi aku salah.
"kamu jangan menangis ya saat aku mati nanti" dengan senyum yang kucipta semanis mungkin kuminta kamu berjanji padaku. "aku tak suka kamu membicarakan kematian, kematian itu adalah hak Tuhan untuk mengatakannya" ujarmu tanpa bisa menyembunyikan kekhawatiran diwajahmu. Aku hanya bisa tersenyum kelu, karena aku tak ingin meninggalkanmu.
Andai waktu itu aku menerima lamaranmu dan kita menikah, mungkin akan menjadi kebahagian bagi kita. Tapi, aku menolak karena aku tak tega meninggalkanmu. Dan aku pun takut membayangkan tatapan orang-orang kearahmu saat aku dengan kursi rodaku ini bergerak menuju altar tempat diikrarkannya ikatan suci cinta itu. Aku dengan ketakutanku telah mengambil kebahagian kita dan ingin membawanya mati bersamaku.
Kini, aku menunggu-nunggu malaikat menjemputku. Kenapa kanker ini bekerja begitu perlahan. Aku ingin ia menyudahi penderitaan sekaligus kerinduanku akan dirimu. Aku ingin pergi, pergi ketempat dimana mungkin ada kamu disana.
Aku menunggu rupa kematian yang selama ini kutakuti. Danu, aku merindukanmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun