Bayangkan sebuah pohon. Pohon tak pernah tumbuh dalam semalam. Ia butuh waktu bertahun-tahun untuk menancapkan akar, menguatkan batang, dan menumbuhkan cabang. Dari luar, mungkin terlihat lambat. Namun akar yang tumbuh diam-diam itulah yang membuatnya sanggup bertahan saat badai datang. Aku merasa seperti pohon itu. Langkahku mungkin pelan, tetapi aku sedang mengakar---dan akar itu membuatku kuat meski tak selalu terlihat.
Kadang aku berpikir, andai saja aku lebih cepat, mungkin aku sudah sampai lebih dulu. Namun cepat tak selalu berarti bahagia. Ada yang sampai lebih dulu, tapi hatinya kosong. Ada yang berhasil, tapi hidupnya terasa rapuh. Aku tak ingin sekadar sampai. Aku ingin tiba dengan hati yang utuh.
Melangkah tanpa tergesa memberiku ruang untuk bernapas. Ruang untuk berhenti dan melihat bahwa aku pun berharga, bahkan tanpa harus menyamai orang lain. Aku mulai belajar mengucap terima kasih pada diriku sendiri: terima kasih sudah bertahan, terima kasih sudah melangkah, meski kecil. Karena keberanian terbesar bukanlah melompat jauh, melainkan setia melangkah, satu demi satu, dengan cara yang kita mampu.
Kini, setiap kali rasa iri itu datang lagi, aku mencoba menenangkannya dengan bisikan kecil: "Aku tidak tertinggal. Aku hanya berjalan di jalan yang berbeda." Kalimat sederhana itu menjadi mantra yang menenangkan.
Dan benar saja---setiap orang memang punya waktunya masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lambat, ada yang terlihat gemilang, ada yang tampak biasa saja. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa yang cepat selalu bahagia? Siapa yang bisa memastikan bahwa yang lambat tak akan sampai?
Aku percaya, waktu punya cara sendiri untuk mengajariku. Waktu mengajarkan kesabaran, keteguhan, dan keberanian untuk menerima diri. Aku tak perlu meniru langkah orang lain, karena jalan ini adalah milikku. Dan justru dalam ritme pelan inilah aku bisa tumbuh menjadi diriku yang sebenarnya.
Mungkin aku belum sampai sejauh mereka. Tapi aku sedang bertumbuh---dengan ritme sendiri, dengan cara sendiri. Aku sedang menancapkan akar yang kelak akan membuatku tegak. Dan aku yakin, ketika saatnya tiba, aku pun akan sampai.
Bukan sebagai orang tercepat. Bukan sebagai yang paling hebat. Tetapi sebagai diriku, yang telah setia melangkah dengan hati penuh.
Dan bukankah itu tujuan hidup yang paling sejati?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI