Mohon tunggu...
Andriyanie CB
Andriyanie CB Mohon Tunggu... Writer, Linguist, Shutterbug

Follow IG: @andriyanie121

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak yang Pelan, Akar yang Dalam

28 September 2025   13:24 Diperbarui: 28 September 2025   13:24 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: OpenAI)

"Keberanian sejati bukanlah menjadi yang tercepat, melainkan setia pada langkah sendiri."


Di tengah hiruk pikuk dunia yang berlari dengan kecepatan tinggi, aku sering merasa seperti pejalan kaki di tengah jalan raya. Semua orang tampak bergegas---mengejar tujuan, menandai pencapaian, memamerkan hasil---sementara aku hanya melangkah pelan, mencoba menjaga napas agar tak tercekat. Ada masa ketika aku merasa tertinggal terlalu jauh, seakan langkahku tak akan pernah cukup untuk sampai.

Aku melihat teman-temanku lulus lebih cepat, mendapat pekerjaan lebih baik, menikah, membangun keluarga, membeli rumah, dan menuliskan kisah sukses mereka seolah hidup adalah deretan trofi yang bisa dipamerkan. Aku ikut tersenyum saat mereka bercerita, tapi diam-diam hatiku bergumam: mengapa aku tak seperti mereka? Apa yang salah dengan jalanku?

Rasa iri itu kerap datang tiba-tiba. Kadang saat membuka media sosial, kadang saat menghadiri reuni kecil, atau bahkan saat mendengar kabar sederhana: "Si A baru saja diterima kerja di perusahaan besar." "Si B sebentar lagi menikah." "Si C sudah punya anak kedua." Di saat-saat itu, aku seperti dihantam gelombang tak kasat mata. Bukan hanya soal pencapaian, melainkan rasa takut: apakah aku sedang jalan di jalur yang salah?

Namun, perlahan-lahan aku mulai menyadari bahwa rasa tertinggal itu lahir bukan karena aku benar-benar gagal, melainkan karena aku terlalu sibuk membandingkan langkahku dengan orang lain. Aku lupa bahwa jalan hidup setiap orang berbeda, dan ritme yang mereka pilih bukanlah tolok ukur mutlak bagiku. Ada orang yang memang lahir untuk berlari cepat. Ada yang mampu melompat jauh. Ada pula yang memilih berhenti sejenak, menengok ke sekeliling, lalu kembali melangkah perlahan. Aku mungkin termasuk golongan terakhir.

Melangkah pelan bukan berarti tak bergerak. Justru dalam langkah-langkah pelan itu, aku menemukan kesempatan yang jarang dimiliki mereka yang selalu tergesa: kesempatan untuk benar-benar mendengar diriku sendiri.

Aku belajar mengenali detak hatiku. Aku menyadari kapan aku merasa bahagia, kapan aku tertekan, kapan aku butuh berhenti. Dunia sering kali menuntut agar kita tak berhenti: terus maju, terus bekerja, terus produktif. Namun, apa gunanya berlari tanpa tahu arah? Apa gunanya tiba lebih dulu, jika ternyata kita salah tujuan?

Pernah suatu waktu, aku mencoba meniru orang lain---memaksa diriku untuk ikut berlari. Aku menyusun target-target ketat, memaksa diri bekerja di luar kemampuan, meniru kebiasaan teman yang terlihat sukses. Hasilnya? Aku justru jatuh tersungkur. Bukan karena aku malas, tetapi karena jalanku memang berbeda. Aku tak bisa tumbuh di tanah yang bukan milikku. Dan di titik itulah aku belajar satu hal penting: menerima ritme hidupku sendiri.

Ada kelegaan aneh saat kita berhenti membandingkan. Rasanya seperti melepaskan beban yang lama menekan dada. Aku mulai melihat bahwa langkah pelan pun punya makna. Seperti seorang musafir yang memilih berhenti sebentar di tepi jalan, ia mungkin tak sampai lebih cepat, tapi ia sempat menikmati keindahan langit senja, semilir angin, atau suara burung yang berkicau. Apa salahnya melambat, bila justru di situ kita menemukan keindahan yang sering terlewat?

Pelajaran paling berharga justru datang dari hal-hal kecil. Misalnya, ketika aku gagal mendapatkan pekerjaan yang kuimpikan, aku punya waktu lebih banyak untuk belajar hal-hal lain---menulis, membaca, atau sekadar merenung. Ketika aku merasa tertinggal dalam urusan pernikahan, aku belajar mencintai diriku dulu, berdamai dengan luka-luka lama, dan menyiapkan hati agar suatu hari benar-benar siap berbagi hidup.

Setiap keterlambatan ternyata membawaku ke ruang belajar yang berbeda. Aku mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang "seberapa cepat sampai", tetapi juga tentang "apa yang kita pelajari di sepanjang jalan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun