1. Permulaan
Malam itu, bulan separuh menggantung di langit. Udara dingin merayap dari lembah, membawa aroma tanah basah. Lima remaja berdiri di tepi hutan bambu yang menjulang seperti dinding hitam. Dari jauh, desir bambu terdengar lirih, seperti bisikan yang terputus-putus.
Aji memegang senter kecil, wajahnya penuh semangat. "Ayo, kalau kita lewat sini, besok pagi kita bisa sampai ke air terjun sebelum orang lain. Camping kita bakal lebih keren daripada yang lain."
Fabian---dengan jaketnya yang selalu rapi---mengerutkan dahi. "Apa kamu yakin, Ji? Aku pernah dengar orang desa bilang hutan ini angker. Banyak yang nyasar."
Fariz menendang kerikil dengan cuek. "Angker-anggker, paling cuma mitos. Aku sih ikut aja, asal jangan lama-lama."
Dinda merapatkan jaketnya, menoleh ke Alya. "Aku nggak suka tempat ini... dari tadi dingin banget. Kayak ada yang ngikutin."
Alya, gadis berwajah lembut dengan mata besar, hanya mengangguk pelan. Tangannya meremas jemari Dinda, seolah takut terlepas.
Tapi Aji sudah melangkah masuk, tanpa menoleh lagi. Empat lainnya terpaksa mengikutinya.
2. Keheningan yang Aneh
Begitu mereka masuk, suasana berubah drastis. Cahaya bulan hilang ditelan rapatnya dedaunan bambu. Suara jangkrik dan burung malam menghilang. Hanya ada desir bambu yang bergesek, menimbulkan nada panjang... nyaring... lalu mendadak lirih, seakan seseorang berbisik di antara batang-batang.