CINTA YANG TAK TERUCAP
Hampir setiap pagi, Roy masuk kelas lebih dulu dari Eva. Ia sengaja duduk di bangku dekat jendela, deretan tengah, supaya bisa menyapa Eva begitu gadis itu datang. Entah sejak kapan perasaan itu tumbuh, yang jelas tiga tahun satu kelas membuat Roy merasa dekat, tapi sekaligus jauh.
Eva gadis ceria, mudah bergaul, dan selalu jadi pusat perhatian teman-teman. Sementara Roy lebih pendiam, lebih suka memperhatikan daripada ikut ramai. Meski begitu, ada banyak momen kecil yang selalu ia simpan.
Pernah suatu kali, saat kerja kelompok, Roy lupa membawa buku catatan. Eva spontan meminjamkan bukunya sambil berkata, "Besok jangan lupa ya, Roy. Kalau nggak, kamu jadi alasan kita nggak bisa selesai." Roy hanya bisa nyengir, tapi diam-diam ia menyimpan tulisan tangan Eva di hatinya.
Hari-hari di SMA berjalan cepat. Ada tawa di kantin, upacara bendera yang terasa panjang, canda di kelas saat guru terlambat masuk. Dan di antara semua itu, ada perasaan yang tak pernah benar-benar terucap.
Menjelang kelulusan, suasana kelas berubah. Banyak yang sibuk mengisi buku kenangan, menuliskan pesan-pesan lucu, bahkan ada yang terang-terangan menuliskan kata cinta. Roy merasa waktunya hampir habis.
Sore itu, kelas mulai sepi. Coretan di papan tulis belum dihapus, jendela terbuka membiarkan angin sore masuk. Eva masih duduk di bangkunya, merapikan buku. Roy memberanikan diri mendekat.
"Eva..." suaranya pelan, agak bergetar.
Eva menoleh, alisnya terangkat. "Kenapa, Roy?"
Roy menelan ludah. "Aku mau tanya... kamu sudah punya pacar?"
Eva terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kalau iya kenapa? Kalau nggak kenapa?" jawabnya dengan nada menggoda, seolah ingin menguji.