Dalam catatan sejarah panjang kekaisaran Tiongkok, nama-nama besar seperti Wu Zetian dan Permaisuri Cixi sering kali muncul sebagai sosok perempuan yang memainkan peran penting dalam dinamika politik dan budaya. Namun, ada satu figur lain yang meski jarang disebut, memiliki kisah yang tidak kalah menarik: Permaisuri Ashina.
Ia bukan sekadar permaisuri yang hidup di dalam istana. Ashina datang dari dunia luar, membawa warisan budaya dan tradisi yang berbeda, lalu mengikat dua peradaban besar melalui pernikahan politik. Gelar yang disematkan padanya “Permaisuri Surgawi” (Tianyuan), menunjukkan betapa besar peran dan maknanya.
Penemuan makamnya beserta artefak-artefak penting di dalamnya semakin memperjelas posisinya sebagai jembatan diplomasi lintas budaya sekaligus simbol legitimasi kekuasaan kosmologis.
Kisah Ashina adalah gambaran bagaimana seorang perempuan asing dapat menjadi pusat strategi politik, diplomasi, bahkan spiritualitas. Ia menjadi bukti bahwa dalam sejarah Tiongkok, identitas hibrid tidak selalu dianggap sebagai kelemahan, melainkan bisa menjelma menjadi kekuatan.
Siapa Permaisuri Ashina?
Latar Belakang Sejarah
Permaisuri Ashina lahir dari keluarga penguasa Khaganat Gokturk, sebuah konfederasi bangsa nomaden yang menguasai Asia Tengah pada abad ke-6 M. Gokturk dikenal sebagai bangsa penunggang kuda yang tangguh, pengendali jalur perdagangan stepa, sekaligus mitra maupun ancaman bagi Tiongkok.
Pada tahun 568 M, Ashina menikah dengan Kaisar Wu dari Dinasti Zhou Utara. Pernikahan ini bukan sekadar ikatan rumah tangga, melainkan strategi diplomasi tingkat tinggi.
Dengan menikahi seorang putri Gokturk, Dinasti Zhou berharap dapat memperkuat aliansi dengan bangsa nomaden yang berpengaruh. Bagi Gokturk sendiri, hubungan ini membuka jalan untuk mendapatkan legitimasi dari peradaban agraris yang mapan di Tiongkok.
Gelar “Permaisuri Surgawi”
Tidak semua permaisuri dalam sejarah Tiongkok mendapat gelar istimewa. Namun, Ashina dianugerahi gelar “Tianyuan Huang Taihou” (天元皇太后), yang berarti “Permaisuri Agung Tianyuan”. Gelar ini tidak hanya menyiratkan penghormatan, tetapi juga menyimbolkan legitimasi surgawi.