Mohon tunggu...
andries christian
andries christian Mohon Tunggu... Freelancer - astronaut kucing

Membuat catatan dikala sedang sendu yang dimana tulisan ini disponsori oleh karena sakit hampir selama 3 bulan sehingga ga bisa kemana-mana, akhirnya punya banyak waktu lebih untuk menulis sambil tiduran, Jangan terlalu serius menanggapi tulisan ini, didalamnya mengandung muatan hiperbola sehingga jangan terlalu diberi makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Depresif Korosif

22 Oktober 2019   10:29 Diperbarui: 22 Oktober 2019   10:48 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terpujilah ketika terbangun dipagi hari yang begitu sepi berperan sebagai seorang depresif kawakan yang senang menertawakan kehidupan yang amat ganjil, seperti biasa bangun dengan sedikit sakit kepala bagian kanan. mengisi kekosongan hidup dengan murung, mencoba mengukur alur keceriaan dan menolehkan muka berbalik badan kebelakang ternyata semuanya masih tetap sama saja hanya gumpalan pilu yang menungguku. Sebagian rinduku mengajak berjalan-jalan berkendara dengan sikuda besi tua yang sudah sangat jarang keluar melintasi dimensi lain.

Akhirnya menepi berakhir tanpa hasil sangat nihil, rasa tenang itu tidak tertemukan, kemudian kembali kerumah dalam keadaan gontai dengan sedikit senyum guna menyamarkan resah orang-orang rumah. sungguh sangat amat terkurung murung.

Keesokan hari diamku semakin menjadi, hanya mampu menantap langit-langit atap dengan coretan-coretan puisi ragu. Membuka lemari baju yang berdebu alasannya satu hanya ingin menemukan tenang. Menengok keluar nyatanya sama saja, yang dicari tenang yang ditemukan resah. Dan kemudian menelan senyawa neuralgin menjadikannya juru selamat ketika kumpulan rasa sakit kepala kanan berjalan-jalan bergantian. menggerus mentah setiap kepingan pil pilu. Menatap kaca dengan sosok pesimistis yang begitu usang.

Kembali mencoba berputar berkeliling mencari bagian yang hilang, belajar bagaimana caranya menjadi cukup, tidak berlebihan. Sampai energi terkuras sepanjang hari padahal hanya makan minum lalu tidur.

Sore itu menoleh jam dinding tua yang umurnya melebihiku, menghitung setiap detik waktu yang berlalu begitu saja. Melintasi peristiwa yang kebanyakan ku anggap sedih. Tidak kubiarkan orang-orang itu melihat raut gelisah dalam mimikku. Apa daya mata sembab memperlihatkannya, sudahlah biarkan berlari menyusuri sepi.

Hari itu hari kamis seingat ku, setelah pulang dengan setumpuk beban berada diatas pundak, melipir jalan menyebrang belok kanan menyusuri jalanan sepi tanpa lalu lalang angkutan umum. Terkadang menepi untuk melihat ketenangan. Bertarung melawan sepi didalam kerumunan ramai. Kubawa pulang masih dalam suasana pertemuan sekte ilmu pemograman masa depan.

Disela titah yang menggunung hari-hari yang dilelahkan oleh deadline sang master cenayang. Menghabiskan malam dengan debug komunikasi bersama asa. Setengah semangat setengah malas setengah ingin mati saja. Setan yang berperan sebagai sosok antagonis mengajakku setuju untuk tidak merasakan apapun.

Di perjalanan pulang burung beriring menyisir diatas langit bercumbu bersama kepulan asap corong pabrik, menyongsong petang yang datang dikala terik kemacetan perkotaan, menyapa setiap sosok kesal sepulang kerja, menurutku lampu merah adalah pemberhentian yang menciptakan percakapan dan kekesalan dengan latar berisik nada klakson. dimana mereka sungguh sangat merindukan senyuman orang rumah.

Memang kebetulan kamis ini membentuk pararel senggama keterpurukan, saat duka luka bersemayam seolah belum siap menerima masa depan, menjamu setiap harapan, mengakalinya dengan melarikan diri seolah ingin berhenti ditempat yang mungkin bukan seharusnya untuk berhenti. Terlalu tertatih menjaga perasaan yang nampak kesepian.

Sungguh selalu kucari tenang itu, berburu setiap waktu, kulakukan apapun sampai tersimpu malu dalam sujud. Namun tetap dan kekal mereka bersemayam membuat segalanya begitu kelam, menenggelamkan setiap ceria yang terpancar. tidak lagi ada aku apalagi mereka, sungguh amat kosong, tidak merasa, tidak benar-benar hidup, tidak juga benar-benar mati. Ku telusuri setiap jejak jalan lama yang penuh romantika, nyatanya masih sama semuanya semu berakhir murung. Entah apa dan bagaimana, ingin sekali pergi, pergi kesuatu tempat yang sampai aku tidak mengenal diriku.

Dan kemudian melangkah tidak tahu arah, mana yang benar mana yang salah untuk ditapaki saat bersamaan dengan kaki yang telah lelah untuk melangkah menuju hal-hal yang dianggap indah. Mencari entah apa, memikul beban, rasa resah yang mendominasi tidur, malam yang tidak begitu tenang, bersenyawa keringat resah, tersungkur disudut malam yang menggantung dipersimpangan memilih terlelap atau terjaga.

Resah yang nyata mengunci setiap ingatan. Menanti pagi yang tidak kunjung kembali, jika memang ini adalah akhir, maka cepatlah berakhir. Namun tetap saja raga ini menolak terlelap. Sejenak terpikir senyuman anak kecil polos adalah sebuah intuisi kebahagiaan yang murni tak terpaksakan.

Sungguh sangat kosong, bisakah kalian temukan bagian yang hilang itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun