Mohon tunggu...
Andri
Andri Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia biasa

orang ngawur yang tak kunjung benar | laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apanya yang Tertinggal?

16 November 2015   13:57 Diperbarui: 16 November 2015   17:07 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir ini, rasanya kita semakin menyempitkan cara berpikir kita sehingga kita mudah sekali merumuskan suatu hal yang sebenarnya berada dalam skala yang besar. Ibaratnya, dalam satu rumah terdapat banyak sekali kamar. Lalu ada satu kamar yang kotor dan sangat berantakan, dan kita langsung saja menyimpulkan bahwa rumah itu kotor dan sangat parah.

Di zaman keterbukaan ini, entah salah media atau para pembacanya, sorotan dan kebanggan terhadap desa atau daerah kalah besar dibanding sorotan terhadap kota maupun negara luar. Entah kenapa, kita semakin hari semakin merendahkan diri. Tidak mempunyai kebanggan dan tidak memiliki karakter. Misalnya saja, pengobatan yang berasal dari metode-metode asing kita sebut pengobatan utama. Sementara pengobatan dengan cara memakai tumbuh-tumbuhan atau yang bersifat tradisional, kita sebut itu alternatif.

Entah sejak berapa lama, kita seolah sudah dididik untuk mengakui bahwa kita ini adalah bangsa yang berkembang, bahkan tertinggal. Dan kita sudah dididik bahwa kita harus mengejar ketertinggalan.

Lho, apanya yang tertinggal? 

Kalau saya pribadi, saya tidak pernah merasa bahwa diri saya tertinggal dengan bangsa-bangsa lain. Sebelum Perancis punya menara Eiffel dan Inggris punya Big Ben, para leluhur saya sudah dapat membangun Candi Prambanan, Candi Borobudur, Masjid Demak, bahkan juga sudah memiliki hukum perdata di zaman Kerajaan Kalingga. Bangsa Nusantara adalah bangsa yang tua dan sangat besar peradabannya. Bangsa Nusantara tidak hanya mengacu pada Jawa, Sunda, ataupun Bali. Tetapi dari Sabang sampai Merauke. Bahkan jika membaca peta kekuasaan Majapahit, Nusantara juga mengarah hingga wilayah Thailand.

Di buku atlas Wali Songo karya K.H. Agus Sunyoto, bahwa pada akhir abad ke-3 Masehi, suatu alat besar yang dipakai untuk berlayar yang disebut Po: yang dalam Jawa berarti Prau dan dalam bahasa melayu adalah Perahu. Kapal-kapal tersebut memiliki panjang 200 kaki, tinggi 20-30 kaki, dan mampu memuat 600-700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara di abad yang sama, kapal-kapal dari negeri Cina panjangnya tidak sampai 100 kaki dan tingginya kurang dari 10-20 kaki. Begitu hebatnya para leluhur kita, yang pada abad ke-3 masehi telah sangat mandiri, berdaulat, dan tidak terpengaruh oleh bangsa-bangsa lain.

Apalagi, bangsa-bangsa di Nusantara memiliki karakter dan kebudayaan yang sangat kaya dan kuat. Katakanlah yang saat ini wilayahnya sudah menjadi wilayah teritorial Indonesia, kebudayaannya sudah memiliki perkawinan dengan bangsa-bangsa lain seperti bangsa India, Arab, Persia, Cina, hingga Eropa. Dan hebatnya,bangsa-bangsa di Nusantara menampung segala yang datang kepadanya, tanpa kehilangan karakter pribadinya.

Kalau memakai konsep penduduk di merapi, Jowo digowo, Arab diarab, Barat diruwat. Artinya, kita sudah ditakdirkan menjadi orang jawa, sunda, bali, bugis, batak, ambon, dan seterusnya, maka rasanya wajib bagi kita untuk menjadi sebagaimana yang Tuhan sudah takdirkan. Jika kita sudah menjadi orang islam, yang awal penyebarannya berada di Mekkah dan Madinah, tidak lantas menjadikan kita menjadi orang Arab. Islam kita bumikan di Nusantara dengan memakai kendaraan yang beranama budaya. Begitu juga bagi umat Kristiani, Hindu, dan Buddha. Dan Barat, tidak hanya digarab, tetapi diruwat. Karena jika ditelisik sejarah dan peradabannya, Barat sarat konspirasi dan intrik-intrik, tapi tidak kita tolak peradaban, ilmu dan pengetahuannya setelah kita saring dan kita bersihkan 'racun-racunnya'.

Namun semakin ke sini, rasanya kita seperti anak hilang yang tersesat dan kebingungan di perapatan jalan. Tidak kenal siapa dan dimana orang tua kita, tidak kenal siapa diri sendiri, dan tidak tahu harus menuju jalan yang mana. Apalagi, konsep negara tertinggal, berkembang, dan maju, jika diperhatikan lagi sebenarnya tidak berdasarkan kualitas, melainkan kuantitas.

Ngopi-ngopi di warung kelontong, bersama-sama ngeronda, gotong royong membersihkan lingkungan, berkerumunan nonton wayangan dengan bermodal kopi, kacang, dan kretek dari malam hingga menjelang subuh tanpa buang air kecil, tidak termasuk dalam kategori negara maju.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun