Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Musisi - Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Keranjingan Musik Pop

11 September 2019   11:33 Diperbarui: 15 September 2019   16:47 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi musik | unsplash.com/@spencerimbrockphoto

Dalam menyikapi musik pop, saya sedikit berbeda dengan kawan sepantaran saya waktu itu. Kebanyakan dari mereka menyukai musik pop berangkat dari lirik yang mengena di kehidupannya. Maklum, masa abg adalah masa dimana pubertas seorang anak lagi tumbuh-tumbuhnya. Mereka sedang merasakan gelisahnya jatuh cinta, pertama kali suka dengan lawan jenis, dan keinginan untuk mengekspresikan semua perasaannya.

Berbeda dengan saya yang mana lebih tertarik untuk mengkaji musiknya dulu, baru mau memahami makna liriknya. Terkadang saya tak perdulikan liriknya, selama musik itu saya sukai, saya mainkan. Disini saya mulai bisa memfilter musik yang menurut saya bagus bagi diri sendiri. Semenjak itu tidak semua lagu yang disajikan TV dan radio harus didengarkan.

Saya sudah mulai bisa memilah musik meskipun dengan perspektif yang sempit ini. Dan akhirnya sedikit tahu bahwa musik pop rata-rata terstruktur dari nada-nada repetitif yang ringan dicerna pendengaran dengan dibalut lirik yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari.

Barulah menginjak masa putih abu-abu, dimana saya memang mengambil kejuruan musik, cakrawala ilmu terbuka. Tidak hanya mengenal musik pop, ada yang baru dikehidupan saya yaitu musik klasik. Musik yang dibuat oleh kaum intelek barat yang konon menjadi dasar ilmu musik secara global.

Tidak hanya itu, saya dicekoki jazz oleh teman baru. Jazz yang konon adalah musik bebas terencana, dimana kita sudah memetakan tema namun dituntut untuk berimprovisasi ini membuat penasaran untuk ingin dipahami. Dua musik ini akhirnya banyak merenggut kemesraan saya dengan musik pop.

Namun setelah negeri ini dihantam oleh masifnya skena indie yang berbalik menjadi sebuah ke-mainstream-an, musik pop merangkul saya kembali secara mesra. Menurut saya skena indie sekarang terlalu banyak upaya peng-eksklusifan selera dan dikotomi genre. Mungkin juga karena telinga saya sedikit capek mendengarkan ke-snobis-an mereka dalam mengemas "dagangannya".

Musik menjadi tidak lagi mandiri, karena dibungkus dalam gimmick-gimmick pengantar seperti konsep artistik dan issue budaya populer selain musik. Ini menyebabkan menyempitnya persepsi kita dalam mendengarkan sebuah musik. Ujung-ujungnya yang mereka tawarkan juga tidak jauh dari esensi musik pop. Saya jadi disibukkan dengan memahami konsepnya, bukan inti dari musiknya.

Mungkin juga karena musik pop begitu pure sebagai hiburan, musik yang ringan, lirik tentang patah hati dan jatuh cinta, tidak ada gimmick, tingkat kepuitisan biasa saja, tidak muluk-muluk, dan tidak ada konsepsi lain untuk mendengarkan. Yang bagus keliatan bagus, yang seadanya juga keliatan seadanya. Tanpa ada ke-snobis-an diantara kami. Yang patah hati meraung-raung menangisi lirik ngenesnya. Yang jatuh cinta juga buta oleh lirik gombalannya yang klise.

Namun fenomena ini saya tidak kaitkan dengan pola industri musiknya. Karena melihat apa yang terjadi sekarang, baik indie maupun jalur mayor label sudah tidak zaman lagi untuk dibedakan. Semuanya menjadi bagian dari industri, hanya cara berjualannya yang beda. Yang saya fokuskan adalah bagaimana musik pop selalu hadir dengan segala kekliseannya namun selalu bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Saking dekatnya musik pop dengan pendengar membuat mereka rawan untuk disepelakan, dihina, dan di-diskriminasi secara estetika. Mereka seolah hanya barang dagangan yang dijual untuk meramaikan pasar. Menurut saya tidak semua musik pop se-remeh itu. Semua itu tergantung siapa pencipta dan musisi pemainnya.

Tidak semua lagu sederhana itu mudah, dan tidak semua lagu rumit itu sulit untuk dibuat dan dimainkan. Dan zaman sekarang musik adalah milik semua orang, tidak ada sekat eksklusif diantara kita. Yang membedakan hanya tingkat pemahaman musik tiap orang berbeda, karena latar belakang tiap orang tidak selalu mengantongi ilmu musikologi dan tafsir estetika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun