Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemilu Seperti Pacaran

12 Februari 2019   17:46 Diperbarui: 12 Februari 2019   17:54 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto www.pixabay.com

Pemilihan Umum adalah ajang memilih dan dipilih. Silakan saja kalau memilih. Mau memilih satu calon, siapa pun. Kalau pemilih mau melubangi surat suara salah satu pasangan calon Presiden dan wakil presiden, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) atau calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Bebas sih. Jika pemilih mau melubangi semua surat suara juga boleh. Itu hak asasi pemilih yang dilindungi oleh kovenan hak-hak sipil dan politik.

Selain itu, pemilih juga boleh enggak menggunakan hak pilih. Misalnya mendatangi TPS, meminta surat suara, masuk ke bilik suara, tanpa mencoblos langsung memasukkan surat suara ke kotak suara. 

Atau tidak memilih dengan membiarkan pemilu berjalan dan selesai begitu saja. Bagaikan sajak-sajak "dia datang dan pergi, begitu saja, semua ku terima apa adanya, kata Letto." 

Pemilih boleh tidak hadir di TPS tapi siap-siap menerima cap golongan putih atau golput. Meskipun penamaan ini mengandung SARA, karena penyebutan warna putih.

Kenapa aturan memilih tidak di paksa? Seperti pemilu Australia yang mewajibkan pemilih menggunakan hak pilih. Kalau ada pertanyaan yang mengarahkan pada pemaksaan hak untuk memilih. 

Ajarkan orang-orang itu untuk memperhatikan dunia romantis ala remaja. Tidak ada paksaan seseorang untuk menerima atau memilih pacar/kekasih. Persoalan hati tidak bisa dipaksakan. Karena hati akan memilih dengan kemandirian dan independen.

Dilain sisi, hak untuk dipilih memang berlaku pada siapa saja. Tapi, kita perlu mengingat kembali bahwa tidak semua menerima posisi bisa dipilih. 

Untuk jadi calon Presiden dan wakil Presiden saja membutuhkan matematika tidak beraturan. Belum tahu kalau matematika bukan lagi ilmu pasti di politik. Jika tidak percaya, buka saja aturan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Ketentuan bernama populer Presidential Threshold telah membuat semua guru matematika menangis. Bagaimana ilmu pasti menjadi tidak pasti? 

Bagaimana penghitungan ambang batas hasil pemilihan calon legislatif 2014 yang digunakan untuk pemilihan presiden 2014 menjadi alat hitung untuk pemilu 2019. Coba tanya sama guru kita waktu sekolah dulu. Pasti mereka bilang: "politik bisa memastikan yang tidak pasti dan memunculkan ketidakpastian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun