Medio 1990 hingga 2000-an awal menjadi puncak kejayaan Tupperware di Indonesia. Tidak usah lihat statistik dan data. Brand asal Amerika Serikat ini sudah begitu familiar dan lekat dengan ibu-ibu. Bagaimana tidak, semua tempat wadah plastik, mungkin sampai saat ini, kita sebut dengan "Tupperware", padahal mungkin merknya bukan Tupperware. Fenomena serupa terjadi pada brand yang begitu kuat di pasaran, hingga jenis produknya sama dengan brand tersebut. Seperti pepsodent untuk pasta gigi, indomie untuk mie instan, atau sunlight untuk pencuci piring.
Tupperware dahulu dikenal sebagai produk premium. Ada kesan bangga bagi mereka yang menggunakannya. Bahannya juga dikenal berkualitas dan tahan lama. Hal ini menjadi modal utama Tupperware dalam berdagang, yang membuat mereka lebih unggul dibandingkan kompetitornya. Memiliki beragam ukuran, "barang ini" cocok untuk digunakan berbagai keperluan dapur dan rumah tangga. Termasuk untuk aktivitas sehari-hari, seperti bekal makan siang atau botol minum.
Salah satu kelemahan produk berbahan plastik adalah tingkat presisi tutup dan wadah. Seringkali, tutup dan wadah kurang pas, sehingga pengguna kurang puas dengan kualitas produk. Hal ini juga membuat kualitas makanan atau minuman yang disimpan berkurang. Namun, hal ini tidak ditemui pada produk-produk Tupperware, dengan teknologi kedap udara yang mereka aplikasikan pada setiap produk mereka. Ada rupa, ada harga katanya. Semua kualitas yang mereka tawarkan sukses membuat Tupperware "merajai" kelas wadah makan dan minuman berbahan plastik untuk waktu yang cukup lama.
Namun, tidak dipungkiri, hari-hari ini kita sudah jarang mendengar nama Tupperware. Gaungnya tidak sekeras dulu. Kesaktiannya seolah hilang. Dianggap sebagai produk yang sangat berkualitas, cenderung "sakral", sampai-sampai kalau anaknya hilang pas lagi bawa Tupperware, yang dikhawatirin Tupperware-nya duluan. Hehe. Kalau Tupperware yang dibawa ke sekolah atau tempat kerja hilang, siap-siap menanggung konsekuensinya.
Syahdan, walau sempat menjadi penguasa, tapi Tupperware tidak mampu menjaga "teritori"-nya. Desain yang terkesan itu-itu saja, dan harga yang cenderung mahal untuk daya beli masyarakat yang melemah, membuat Tupperware semakin tertekan dan kehilangan daya saing. Tidak ada lagi yang mampu mereka tawarkan untuk membuat pelanggannya di Indonesia tidak berpaling. Sementara pesaing mereka, membuat desain-desain baru yang menarik, atau harga yang lebih murah sehingga lebih terjangkau untuk masyarakat menengah maupun bawah.
Adidas misalnya. Saat ini, lazim kita jumpai sepatu Adidas dengan harga dibawah 400 ribu. Pasar yang tadinya mungkin tidak dilirik Adidas dan diberikan ke pemain lain, kini ikut mereka recoki. Ditengah situasi yang serba tidak pasti, Adidas mungkin tidak mau kehilangan kesempatan menambah pendapatan. Kualitas bisa jadi dikompromikan, yang penting uang tetap masuk. Bagaimanapun, Indonesia tetap pasar yang besar dan menarik, sepanjang produsen bisa memenuhi permintaan yang datang dari konsumen.
Sebagai sebuah badan usaha, Tupperware juga gagal mengelola keuangan dengan baik. Tupperware induk di Amerika Serikat memiliki hutang sebesar 153 Triliun Rupiah. Sedangkan penjualan mereka terus turun. Tupperware pun babak belur luar dalam. Puncaknya, mereka terpaksa mengajukan kebangkrutan. Saat ini, mereka terpaksa mengurangi aktivitas yang kurang menguntungkan, dan fokus di pasar-pasar yang lebih menjanjikan, seperti pasar domestik di Amerika Serikat. Hal ini guna memastikan biaya lebih efisien, sambil beralih ke pemasaran secara digital mengikuti perilaku konsumen saat ini. Inovasi dan adaptif memang harga yang harus dibayar setiap badan usaha atau organisasi untuk tetap eksis.
Pamitnya Tupperware juga bisa menjadi tanda bahwa negara kita belum terlalu "seksi" meski "semok". Tupperware mungkin melihat daya beli masyarakat kita masih belum cukup untuk membeli produk-produk mereka yang saat ini dipasarkan. Kalau kita lihat di website resmi mereka, misalnya untuk wadah makan siang dijual dengan harga 17-20 USD. Dengan kurs Rp 16.500, maka harganya menjadi kurang lebih Rp 280.000. Produk-produk sejenis bisa kita jumpai dengan harga dibawah Rp 100 ribu.
Namun, bukan berarti Tupperware pamit untuk selamanya. Ketika situasi mereka membaik, bukan tidak mungkin mereka akan kembali ke Tanah Air dan ikut "bermain" kembali. Lagipula, di era digital seperti saat ini, tentu kita masih bisa menikmati produk Tupperware dengan membelinya secara daring. Hengkangnya Tupperware tetap meninggalkan perasaan sedih, terutama bagi generasi Millenial ke bawah, karena Tupperware pernah begitu dekat dengan keluarga Indonesia. Sayonara Tupperware Indonesia! Horas!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI