[caption id="" align="aligncenter" width="629" caption="Sumber: priyandono/suryaonline.co"][/caption] Sudah genap setahun ini saya bekerja sebagai seorang guru. Ternyata pengalaman menjadi guru swasta di kota amat membuka mata saya, di mana terdapat beribu cerita yang menarik dan juga yang menyayat hati. Kali ini, saya ingin menyoroti satu hal dahulu: wali murid. Sebagai seorang lajang, saya tentu belum pernah mengalami bagaimana rasanya plus suka-duka menjadi orang tua. Namun dari keluhan beberapa rekan guru, saya menjadi yakin bahwa menjadi orang tua yang baik merupakan sebuah PILIHAN. Tadinya, saya punya stereotip (yang mungkin juga diamini oleh pembaca secara umum) bahwa anak-anak yang "bermasalah" umumnya memiliki latar belakang keluarga yang khas. Yang paling umum adalah yang disebut dari keluarga broken home. Tetapi dalam tulisan ini, saya ingin membahas fenomena broken home yang terselubung. Lho? Yang saya maksud adalah kondisi orang tua yang masih lengkap (tidak bercerai), namun hubungan keduanya sedang/selalu bermasalah. Dampaknya adalah perhatian kepada anak tidak lagi menjadi prioritas keluarga. Saya pernah melihat acara testimoni keluarga di televisi, di mana seorang ibu langsung menjadi bad mood ketika melihat anaknya yang masih dalam usia sekolah. Alasannya adalah karena dia selalu teringat akan suaminya, dan terutama perilaku buruk suaminya tersebut. Weleh-weleh ... Kok bisa ya? Di lain pihak, rekan guru saya yang terhitung sudah senior bahkan juga merasa heran, mengapa makin banyak orang tua zaman sekarang yang kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Bahkan untuk sekadar teratur mendampingi belajar anaknya sendiri pun, rasanya sulit sekali. Saya juga tidak memungkiri, bahwa salah satu alasannya adalah masalah ekonomi, setidaknya itu kata mereka. Salah satu cerita yang saya dengar seperti ini: sang suami adalah seorang pria yang pemalas dan kurang bertanggung jawab. Alasan ini menyebabkan sang istri berkorban untuk anaknya dengan bekerja di luar pulau, namun sang anak ditinggal bersama suaminya. Alhasil, sang anak tidak pernah mendapat bimbingan belajar ketika berada di rumah. Cerita yang lain, di sekolah yang terhitung elit, kedua orang tua murid bekerja dari pagi hingga malam hari (baru pulang sekitar jam 8 malam). Alasan ini yang diambil oleh mereka untuk "men-subkontrak-kan" urusan pendidikan anak mereka kepada "pihak ketiga", yakni sekolah dan/atau lembaga bimbingan belajar. Apakah berhasil? Dari pengalaman para guru yang pernah saya dengar, terhitung jarang siswa dengan latar belakang semacam ini yang memiliki nilai akademis yang baik. Di sinilah saya melihat benang merah, bahwa strata ekonomi keluarga tidak menjadi jaminan akan kesuksesan belajar siswa. Ujung-ujungnya, gurulah yang banyak menanggung beban. Padahal, otoritas pendidikan yang pertama dan utama adalah ada di tangan keluarga, bukan begitu? Saya agak ragu pembaca Kompasiana akan tersentil dengan tulisan ini, melihat tulisan-tulisan Kompasianer lebih sering menebarkan aroma perhatian, keteduhan dan harapan. Tak apalah. Semoga tulisan saya bisa sedikit membuka mata para pembaca sekalian. Syukur-syukur kalau ada yang punya saran solusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI