Oleh: Andre Vincent Wenas
Aduh...aduh... Lukas Enembe, kenapa mesti naik ojeg sih? Katanya mau terapi kaki, tapi kenapa malah jalan kaki lewat jalan tikus pula?
Gubernur Papua, masuk ke Papua New Guinea (PNG) lewat "jalan tikus" yang biasa dilalui para penyelundup lalu naik ojeg ke hotel penginapannya. Duh! Ada apa sih Pak Enembe? Kok misterius amat?
Lalu spekulasi di publik pun bermunculan. Membawa lari dana otsus, sampai ada keperluan berobat katanya.
Yang jelas, episode berikutnya adalah dideportasi! Ya, artinya diusir dari PNG oleh pemerintah sana. Bikin repot petugas imigrasi dan kemenlu saja.
Namun di atas segala kerepotan itu, Lukas Enembe jelas sudah mempermalukan dirinya serta mempermalukan bangsa Indonesia!
Lalu apa?
Jelas mesti ada konsekuensinya. Ini bukan kejadian biasa. Pejabat tinggi setingkat gubernur telah melakukan tindakan melanggar hukum!
Kalau dalam teori hukum kita tahu bahwa sebuah tindak pidana itu dibangun atas dua unsur penting, pertama unsur objektif (actus-reus, perbuatan melanggar undang-undang pidana). Kedua, unsur subjektif, atau mental (mens-rea, sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana).
Actus-reus, pelanggaran hukum di aspek keimigrasian serta penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat negara sudah jelas. Jadi konsekuensi hukumnya pun jelas harus diterapkan terhadapnya.
Soal pelanggaran etika pejabat tinggi, sudahlah jangan ditanya lagi. Sudah jelas itu.
Lalu soal motif di belakang kelakuannya itu tentu juga  mesti diselidiki. Ada niat (mens-rea) apa? Apa yang melatarbelakangi perbuatan melanggar hukum dari Lukas Enembe itu?
Termasuk pula kecurigaan publik soal 'melarikan dana otsus' pun akhirnya bisa jadi bahan masukan bagi petugas hukum untuk menyelidiki serta menyidiknya lebih dalam.
Yang jelas, pelanggaran berat seperti ini tidak bisa berlalu begitu saja dengan sekedar kata maaf. Maaf ya
"The message has to be sent that if you commit a crime there has to be punishment." -- Benigno Aquino III
02/04/2021
*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).
Referensi: