Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soempah Pemoeda, Bukan Sumpah Serapah!

18 Oktober 2020   23:17 Diperbarui: 18 Oktober 2020   23:38 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari gambar JPNN

Soempah Pemoeda, bukan Sumpah Serapah!

Oleh: Andre Vincent Wenas

Ada tiga butir ikrar dalam teks Soempah Pemoeda:

Pertama: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Bertoempah Darah jang Satoe, Tanah Indonesia.

Kedoea: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Berbangsa jang Satoe Bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean Bahasa Indonesia.

Dalam situasi dan kondisi yang terjajah dan dalam tekanan, para pemuda Indonesia jaman itu bisa menyatukan batin untuk mengikrarkan suatu semangat, spirit perjuangan dan persatuan.

Poetra dan Poetri Indonesia! Luar biasa, identitas kesetaraan gender pun sudah terbaca jelas di situ. Tanah Air, Bangsa dan Bahasa Persatuan yang dijunjung tinggi. Suatu ikatan batiniah yang solid, melampaui perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan.

Deklarasi identitas ke-Indonesia-an. Lahir pada periode itu, mengatasi segala perbedaan. Dan 28 Oktober 1928 saat Kongres Pemuda II menjadi tanda (simbol) yang jelas (muncul ke permukaan) dari suatu semangat kebatinan yang genuine dari bangsa Indonesia, tentang identitas ke-Indonesia-an yang bhinneka tapi tunggal ika.

Hasratnya untuk meraih kemerdekaan lewat persatuan bangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!

Realitas ke-bhinnekaan yang tunggal ika itu pun berakar jauh dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Teridentifikasi dalam kakawin (syair) Sutasoma yang dikarang oleh pujangga besar Mpu Tantular di abad ke-14 dulu.

Di tulis dalam Bahasa jawa kuno yang menggunakan aksara Bali, syair Sutasoma mengajarkan toleransi antara umat Hindu Shiwa dengan Umat Budha. Dalam pupuh bait kelima terdapatlah ungkapan Bhinneka Tunggal Ika.

Yang kalau diterjemahkan bebas, Bhinneka berarti 'beraneka ragam',  tunggal artinya 'satu', dan ika artinya 'itu'. Jadinya, 'beraneka ragam itu satu'.

Lalu...

Sembilan puluh dua tahun kemudian, Indonesia (dan dunia) masuk ke dalam situasi krisis. Kita sama-sama berada dalam tekanan sosial, ekonomi dan akhirnya politik.

Jalan-jalan raya di beberapa kota sedang dibisingkan dengan berbagai demonstrasi kaum muda (mahasiswa, ormas dan segelintir buruh). Sayangnya unjuk rasa itu berujung destruktif.

Mengapa bukan pekik solidaritas dan kesatuan yang muncul? Malahan yang terdengar cuma kebisingan dengan sumpah serapah penuh umpatan terhadap apa yang mereka sendiri tidak pahami. Omnibus Law, Undang-Undang Cipta Kerja.

Para pendemo itu turun ke jalan lantaran hanya mendengar kata si Sotoy atau kata si Polan. Katanya begini dan begitulah tentang Omnibus Law itu.

Amat disayangkan.

Mungkinkah mereka hanya mencontoh apa yang diperbuat para patronnya?

Ditengarai bahwa sumpah serapah pun kerap diteriakkan dari mimbar-mimbar khutbah yang semestinya menyerukan ajaran cinta kasih, perdamaian antar umat beragama, persatuan dan solidaritas.

Ada apa?

Nampaknya ada hasrat kuat yang terpendam. Hasrat kekuasaan, yang sayangnya hendak diraih lewat perpecahan bangsa. Devide et impera, pecah belah lalu kuasai.

Setelah berkuasa, lalu apa? Lalu bancakan (korupsi). Apa lagi?

Bisa dibungkus dengan jubah agama. Untuk kemudian melakukan persekongkolan jahat (kolusi dan nepotisme). Yaitu politik dinasti atau politik perkoncoan yang memperkosa meritokrasi serta menginjak-injak akal sehat. Pengkhianatan demokrasi sejati.

Bukankah pelajaran ini sudah kita alami berpuluh tahun di era rejim Orba? Di era Reformasi pun tidak ketinggalan. Rejim Mangkrak sudah meninggalkan banyak situs-situs candi berkarat yang jadi saksinya.

Apakah kita mau mengulanginya lagi? Tentu tidak. Keledai pun tidak jatuh dua kali di lobang yang sama bukan.

Maka sebaiknyalah kita semua merenungkan kembali, semangat yang dulu dengan amat luar biasa dipekikkan: Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Putra-putri Indonesia, mari tinggalkan sumpah serapah, ganti dengan argumentasi cerdas. Bangun dialektika yang progresif revolusioner. Revolusinya Mental Bangsa Indonesia.

Jangan biarkan bangsa yang besar ini terdegradasi dengan narasi dan aksi murahan yang hanya demi memuaskan libido kekuasaan oknum-oknum yang haus kekuasaan. Yang memperalat kaum muda.

Ingat-ingatlah, lewat semangat Sumpah Pemuda 1928 dulu kita akhirnya mampu mendeklarasikan kemerdekaan (independence) di tahun 1945. Perjalanan panjang penuh perjuangan.

Namun tugas belum selesai, kewajiban kita selanjutnya adalah program pembebasan (freedom). Pembebasan dari kebodohan, dari kemiskinan dan perpecahan yang konyol.

18/10/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun