"Tidak masalah bodoh yang penting beriman" adalah contoh pola pikir yang salah. Pendidikan adalah salah satu cara untuk membentuk pola pikir yang kritis dan terbuka. Lain halnya jika di sekolah diajarkan paham radikal. Pola pikir kritis dan terbuka itu penting karena di era global sekarang masyarakat diharapkan untuk mampu bekerja sama dengan siapapun tidak peduli latar belakangnya. Di negara berkembang seperti Indonesia pendidikan harus menjadi prioritas pertama. Namun beberapa penelitian menyebutkan Indonesia termasuk salah satu negara dengan sistem pendidikan terburuk.
PISA adalah salah satu acuan untuk mengukur kualitas pendidikan sebuah negara. PISA (Bahasa Inggris: Program for International Student Assessment) atau Program Penilaian Pelajar Internasional adalah penilaian tingkat dunia yang mengukur performa akademis pelajar setiap tiga tahun sekali. Diikuti oleh pelajar berusia 15 sampai 16 tahun (SMA) di 72 negara peserta. Mirip ujian di sekolah tapi tingkat dunia. Tiga bidang kompetensi yang diuji yaitu Matematika, Sains dan Membaca. Negara-negara di Asia khususnya Asia Timur mendominasi posisi 10 besar teratas. Singapura berada pada posisi pertama di semua kategori penilaian. Tidak mengejutkan. Bagi mereka pendidikan seperti sudah mendarah daging.
PISA tidak bertujuan untuk menguji "apa yang diketahui pelajar" melainkan "apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka ketahui".
Dimulai sejak tahun 2000 dan sudah 6 kali melakukan penilaian. Dan selama 6 kali itu pula Indonesia selalu konsisten menjadi salah satu peserta dengan hasil terburuk. Penilaian terakhir dilakukan di tahun 2015 yang menempatkan Indonesia di posisi 10 besar terbawah pada semua kategori penilaian. Dari 4 negara anggota ASEAN yang menjadi peserta (Singapura, Vietnam, Thailand, Indonesia) Indonesia berada di posisi terbawah. Indonesia berada di peringkat 62, meningkat dari 71 di tahun 2012 tapi menurun dari 57 di tahun 2009.
Sedikit trivia. Menurut laporan PISA tahun 2015, perempuan lebih unggul dibandingkan laki-laki di semua mata pelajaran: Sains, Bahasa dan Matematika. Bahkan jauh lebih unggul secara signifikan dalam hal membaca. Pelajar di Indonesia nampaknya tidak begitu menaruh perhatian serius di bidang sains. Jumlah pelajar yang memilih melanjutkan karir di bidang sains terbilang kecil dibandingkan negara lain yang berpartisipasi di PISA. Padahal sains melatih pola pikir peserta didik menjadi lebih analitis dan kritis.
Pendidikan primer (SD, SMP) dan sekunder (SMA, SMK) seyogyanya menjadi fondasi bagi Pendidikan Indonesia. Faktanya berkata lain. Data yang dirilis tahun 2013 menunjukkan hanya sekitar sepertiga dari jumlah pelajar di Indonesia yang menyelesaikan pendidikan primer. Bahkan sebagian besar pelajar yang berhasil menamatkan pendidikan sekunder pun tidak memiliki skill minimum yang dibutuhkan untuk memasuki jenjang pendidikan tertier (Perguruan Tinggi). Tanpa didukung lulusan program wajib belajar yang berkualitas perguruan tinggi di Indonesia mengalami kesulitan dalam mengembangkan program penelitiannya.
Hanya terdapat sejumlah kecil guru yang memenuhi kualifikasi di bidang Matematika, Sains dan Bahasa Inggris. Lebih dari setengah jumlah guru di Indonesia tidak memenuhi kualifikasi minimum yang dibutuhkan. Kesulitan semakin terasa di banyak daerah yang jauh dari perkotaan. Gedung sekolah tersedia namun tanpa didukung sarana penunjang lain seperti ketersediaan tenaga pendidik dan buku teks pelajaran. Bahkan ada yang tanpa gedung sekolah sama sekali. Penghargaan terhadap guru pun dirasa kurang. Ditandai dengan gaji yang kecil. Banyak guru di sekolah negeri bekerja di luar kelas untuk menambah penghasilan.
Sistem Pendidikan Indonesia tidak mendorong peserta didik untuk menjadi pribadi yang kreatif dan mandiri, malah fokus menghafal. Pola pikir yang kurang kritis menjadikan siswa terbiasa menghafal. Contoh siswa diajarkan bahwa A + B hasilnya C. Maka seterusnya si murid akan menghafal jawaban C tersebut tanpa perlu berpikir darimana hasil tersebut didapat. Ini bertolak belakang dengan paradigma open minded. Jangan takut mengeluarkan pendapat. Meskipun tergolong pendapat minoritas. Jangan selalu ikut pendapat mayoritas. Berbeda pendapat itu wajar. Segala sesuatu layak untuk diperdebatkan. Selama argumen yang dikeluarkan tidak off topic.
Juga halnya dengan guru. Guru tidak seharusnya memberi rumus yang harus dihafal oleh siswa tanpa mengajarkan konsepnya. Â Siswa juga tidak dilarang untuk bertanya. Namun kenyataannya tidak semua murid memiliki pola pikir kritis. Siswa yang paling sering bertanya di kelas umumnya adalah mereka yang berprestasi. Dengan infrastruktur yang ada, berikut SDM, Indonesia belum sepenuhnya dapat menciptakan lingkungan belajar yang membentuk pola pikir kritis dan terbuka. Kritis artinya berpikir jernih dalam menilai sesuatu. Kritis artinya selalu ingin tahu kebenaran di balik sebuah informasi berikut sumbernya. Tidak melulu diterima begitu saja.
Keberadaan bimbingan belajar di Indonesia adalah salah satu indikator dari menjamurnya pola pikir yang kurang kritis. Siswa yang terbiasa menghafal rumus di sekolah menjadikan bimbel sebagai tempat belajar kedua yang ideal. Karena di bimbel sendiri juga diajarkan rumus cepat (shortcut) tanpa didahului pemahaman tentang konsep. Pemahaman konsep yang dimaksud disini tidak sekedar literasi beberapa halaman.Â
Bandingkan dengan suasana belajar di negara-negara maju yang jauh lebih kritis dan terbuka. Pembahasan sebuah topik selalu berujung debat antara yang pro dan kontra terhadap sebuah pemikiran. Siapapun harus bisa menerima kritik (bukan sindiran atau nyinyiran) dari orang lain. Tanpa harus melotot, adu otot atau menyiram air teh. Peserta didik dituntut untuk benar-benar memahami konsep yang dibahas.
Kurikulum internasional yang diterapkan di sekolah unggulan telah berhasil menciptakan lingkungan belajar yang sarat akan debat, presentasi dan penelitian. Sayangnya sistem seperti ini belum dapat diterapkan secara luas di seluruh Indonesia.
Apa yang membuat pendidikan di negara tetangga kita menjadi sedemikian maju? Mari lihat Singapura. Sistem Pendidikan di Singapura mengungguli semua negara di seluruh dunia. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara yang miskin dan yang kaya. Pemerintah Singapura menitikberatkan sains dan matematika sebagai tolak ukur utama pendidikannya. Orang tua sangat termotivasi untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Sekitar 70% orang tua mendaftarkan anaknya ke les privat di luar sekolah. Hasilnya Singapura berhasil menempati posisi pertama pengujian PISA di semua kategori penilaian dan posisi 7 di IMO (Bahasa Inggris: International Mathematic Olympiad) atau Olimpiade Matematika Internasional tahun 2017.
Mengapa pendidikan menjadi fokus utama? Karena satu-satunya sumber daya yang dimiliki negara ini adalah manusianya. Tidak seperti Indonesia. Namun semua keberhasilan tersebut memunculkan dampak negatif. Tingkat stres di kalangan pelajar sangat tinggi. Sistem yang terlalu fokus pada nilai menghilangkan aspek "fun" dari proses pembelajaran. Anak-anak di sekolah menjadi sangat ketakutan jika mereka tidak lulus ujian atau jika nilai yang didapat tidak cukup "sempurna". Laporan di tahun 2015 menunjukkan terjadi 27 kasus bunuh diri oleh pelajar berusia 10 sampai 19 tahun di Singapura. Angka ini bertambah dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya dan yang tertinggi selama satu dekade terakhir.
Selanjutnya mari lihat negara tetangga yang lain. Ya, Vietnam. "Kualitas Pendidikan Indonesia Masih di Bawah Vietnam" demikian tajuk sebuah artikel dari salah satu media televisi swasta.
Vietnam menganut paham komunis kuminis (Marxism-Leninism). Mari abaikan hal tersebut sejenak. Faktanya adalah mereka menghasilkan SDM yang lebih berkualitas. Hasil pengujian PISA tahun 2015 menunjukkan pencapaian yang sangat luar biasa, mengungguli negara maju seperti Rusia, Prancis, Inggris, USA untuk bidang kompetensi matematika. Berada di posisi sepuluh besar untuk bidang kompetensi sains. Kuncinya adalah komitmen pemerintah, kurikulum yang terfokus dan peningkatan kualitas guru. Pemerintah Vietnam menaruh perhatian besar terhadap pendidikan. Vietnam menghabiskan 21% dari total anggaran belanjanya untuk pendidikan. Lebih besar dibandingkan negara lain yang menjadi peserta PISA termasuk Indonesia (20%).
Kurikulum didesain sedemikian rupa, sebuah rencana jangka panjang, yang fokus pada pemahaman konsep dasar dan penguasaan keterampilan dasar. Tidak sekedar belajar menghafal.
Sejauh mana kita ingin pendidikan di Indonesia berkembang? Sesuai dengan tujuan dari penilaian PISA itu sendiri, yaitu "menguji dan membandingkan prestasi anak-anak sekolah di seluruh dunia". Jika kita ingin menghasilkan SDM berkualitas dengan gelar yang diakui di dunia, tidak hanya di Indonesia, tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Namun jika motivasi kita hanya sebatas mendapatkan pekerjaan di Indonesia dengan upah setara UMR maka penilaian PISA rasanya tidak diperlukan.
*****
Sumber Teks: OECD, Wikipedia, Factsanddetails, Classbase, BBC, Business Insider, The Conversation, Al Jazeera, A Liquid Future, WENR, ABC News, South China Morning Post, Kompas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI