Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kenaikan PBB dan Bayang-Bayang "You Will Own Nothing and You Will Be Happy

15 Agustus 2025   10:52 Diperbarui: 15 Agustus 2025   10:52 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Demo Kenaikan PBB di Pati (Sumber: https://www.tempo.co/)

Beberapa waktu terakhir, media lokal ramai memberitakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di berbagai daerah. Di Cirebon, misalnya, warga dikejutkan oleh lonjakan PBB yang mencapai 1.000 persen. Angka ini bukan sekadar naik signifikan---ini naiknya seperti roket. Wali Kota Cirebon mengatakan, kebijakan tersebut sebenarnya merupakan warisan dari era kepemimpinan sebelumnya. Namun, bagi masyarakat, siapa yang merancang kebijakan itu tidak mengubah fakta bahwa lembar tagihan yang biasanya terasa rutin kini berubah menjadi sumber stres.

Hal yang sama terjadi di Pati. Di sana, kenaikan PBB memicu protes besar-besaran hingga ribuan warga turun ke jalan. Mereka mendesak Bupati untuk mundur, menilai keputusan itu berat sebelah dan memberatkan rakyat kecil. Demonstrasi ini bukan sekadar simbol ketidakpuasan, tapi juga peringatan bahwa pajak yang melonjak tanpa kompromi dapat mengoyak rasa percaya masyarakat kepada pemerintah.

Jika kita menengok beberapa tahun ke belakang, fenomena kenaikan PBB sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru.

  • Jakarta (2019): NJOP di beberapa wilayah melonjak hingga 100%--200%, memicu keluhan dari pemilik rumah tua yang pendapatannya tetap, sementara pajaknya meroket.

  • Bandung (2022): Pemerintah kota menaikkan NJOP rata-rata 30% dengan alasan penyesuaian harga pasar.

  • Surabaya (2023): Beberapa kawasan mengalami kenaikan PBB hingga 50% setelah dilakukan revaluasi aset daerah.

Polanya mirip: pemerintah daerah berdalih bahwa kenaikan ini adalah "penyesuaian wajar" mengikuti harga pasar properti, namun bagi warga, kenaikan tetaplah kenaikan---dan tidak semua dompet mampu mengikuti.

Di tengah dinamika ini, saya teringat satu frasa yang pernah menjadi bahan diskusi global: "You Will Own Nothing and You Will Be Happy." Kalimat ini dikenal luas setelah dipopulerkan oleh World Economic Forum (WEF) dalam kampanye visi masa depan pada 2016. Dalam salah satu artikelnya, Ida Auken, mantan Menteri Lingkungan Denmark yang menulis untuk WEF, membayangkan skenario di tahun 2030 di mana manusia tidak lagi memiliki rumah, mobil, atau bahkan perangkat pribadi. Semuanya disewa atau dipinjam sesuai kebutuhan. Katanya, "I don't own anything. I don't own a car. I don't own a house. I don't own any appliances or any clothes. Everything is borrowed."

Bagi sebagian orang, ini terdengar seperti mimpi buruk distopia. Namun bagi WEF, konsep ini disebut akan meminimalkan limbah, mengoptimalkan sumber daya, dan menghilangkan beban kepemilikan. Pertanyaannya, apakah kebijakan kenaikan PBB yang drastis ini merupakan langkah awal---disadari atau tidak---ke arah dunia di mana kepemilikan pribadi semakin mahal dan sulit diakses?

Tentu, saya tidak berani berspekulasi terlalu jauh. Takut nanti malah "dilakban" seperti tokoh di meme politik itu, hehehe. Tapi realitas di lapangan membuat pertanyaan ini sulit diabaikan. Kenaikan pajak yang tak terkendali bisa memaksa sebagian orang menjual asetnya, beralih ke sistem sewa, dan perlahan terbiasa hidup tanpa kepemilikan permanen. Dalam konteks itu, frasa "You Will Own Nothing" terasa bukan lagi wacana futuristik, melainkan kemungkinan nyata.

Selain itu, fenomena ini mengajarkan bahwa kepemilikan di dunia modern sebenarnya selalu bersyarat. Sertifikat tanah atau rumah yang Anda genggam bukan jaminan mutlak. Kewajiban membayar PBB setiap tahun berarti negara memiliki mekanisme untuk mengatur bahkan mencabut kepemilikan jika pajak tak terbayar. Dalam skenario terburuk, Anda bisa kehilangan rumah bukan karena dijual, tapi karena disita akibat tunggakan pajak.

Bagi sebagian orang kaya, kepemilikan properti tidak menjadi masalah besar---mereka bisa membayar pajak setinggi apa pun. Namun bagi kelas menengah dan bawah, kenaikan PBB bisa menjadi pemicu "downsizing" atau menjual aset. Pada akhirnya, kepemilikan tanah dan rumah bisa terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau korporasi, sementara mayoritas masyarakat menjadi penyewa.

Apakah ini semua bagian dari grand design global? Atau hanya kebijakan lokal yang kurang peka terhadap kondisi sosial ekonomi? Jawabannya mungkin tidak sesederhana hitam dan putih. Namun yang jelas, setiap kenaikan PBB yang tidak disertai transparansi dan komunikasi yang baik hanya akan memperkuat sentimen bahwa kita sedang berjalan menuju era "You Own Nothing".

Untuk saat ini, saya hanya bisa berharap pemerintah daerah di seluruh Indonesia memahami bahwa pajak bukan sekadar angka di kertas, tetapi juga menyentuh rasa aman dan martabat masyarakat. Kepemilikan adalah simbol kebebasan dan kestabilan. Jika simbol itu terus digerus, jangan kaget bila di masa depan kita tidak lagi mengukur kekayaan dari apa yang kita miliki, melainkan dari seberapa sedikit yang kita bisa pertahankan.

Dan entah kenapa, di situ saya jadi ingat frasa WEF tadi. Mungkin memang masa depan sedang datang pelan-pelan---bukan lewat inovasi teknologi, tapi lewat tagihan pajak yang jumlahnya membuat kita berkata: "Sudahlah, mending gak punya."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun