Mohon tunggu...
Andreas Pisin
Andreas Pisin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biarpun Gunung-Gunung Beranjak Dan Bukit-Bukit Bergoyang Namun Kasih Setia-Ku Tidak Akan Beranjak Daripadamu

SEIRAMA LANGKAH TUHAN

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Ekologi, Akibat dari Perlakuan Buruk Manusia terhadap Alam

28 Maret 2022   22:09 Diperbarui: 18 September 2022   10:29 5594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang memiliki banyak keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berakal budi sehingga mempunyai kemampuan untuk berpikir. Sebagai makhluk yang berakal budi manusia mampu melindungi, merawat dan mensejahterakan alam sekitarnya. Namun tidak dapat disangkal bahwa dengan kemampuan akal budinya dan kemajuan dalam ilmu pengetahuannya manusia sering menyimpang dalam bertindak, yang seharusnya merawat dan melestarikan alam dan segala isinya tetapi pada kenyataannya justru sebaliknya, manusia malahan meruska alam dan segala isinya untuk mensejahterakan dirinya.

Realitas ini tentu merupakan masalah yang sangat kompleks yang dpat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia dan keberadaan beraneka ciptaan lainnya. Melihat realitas kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta yang semakin lama semakin rusak, maka Paus Fransiskus mengeluarkan dokumen Gereja yaitu Ensiklik Ladato Sisebagai bentuk keprihatinannya kepada bumi kita bersama ini. Ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan oleh paus Fransiskus memberi suatu sumbangan untuk menyelesaikan persoalan ini. Penulis akan menganalisis dokumen ini secara khusus dari artikel 32-33 dan menghubungkannya dengan kasus yang terjadi di Indonesia.

Masalah Yang Disoroti Dalam Ensiklik Laudato Si art 32-33

Masalah yang disoroti dalam art 32-33 ialah Hilangnya keanekaragaman hayati.Tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di alam semesta ini. Sumber daya bumi pun dijarah karena konsep ekonomi, perdagangan dan produksi jangka pendek saja. Hilangnya rimba dan kawasan hutan lainnya membawa serta hilangnya spesies yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan.[1]Tindakan yang tidak bertanggung jawab itu bahkan membawa malapetaka bagi manusia sendiri. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa alam yang sering terjadi di misalnya, banjir, tanah logsor dan fenomena-fenomena alam lainnya. Terjadinya bencana alam seperti tanah longsor, banjir, polusi air dan polusi udara merupakan contoh keseimbangan dan keharmonisan alam tergangu. Ketika keharmonisan alam terganggu maka alam akan mengatur dirinya dalam keseimbangan baru. Proses menuju keseimbangan baru tersebut sering kali menimbulkan bencana bagi komponen alam yang lain (msnusia). Akibat dari kehilangan keanekaragaman hayati ini, ribuan spesies tidak dapat memuliakan Allah.

 Contoh Kasus di Indonesia

 a.  Banjir Kalsel

 Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) terendam banjir pada beberapa hari terakhir. Setidaknya 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel kebanjiran. Ketinggian air mencapai 2-3 meter. Hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir diduga menjadi penyebab.Lantas, benarkah banjir di Kalsel hanya dikarenakan hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir? Jefri mengatakan, curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung. Kendati demikian, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini. "Bencana semacam ini terjadi akibat akumulasi dari bukaan lahan tersebut. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit.[2]

 b. Pertambangan 

 Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat 4.290 Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau sekitar 49,2 persen dari seluruh Indonesia. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar, tambah Jefri. Tidak hanya di Kalsel, wilayah Kalimanatan lain juga digerus oleh area pertambangan. Pada 27 September 2020, Walhi Kalsel bersama Jatam, Jatam Kaltim, dan Trend Asia, membentuk koalisi #BersihkanIndonesia. Mereka mendesak pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuka dokumen Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Mereka mengevaluasi mengenai kasus pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Lebih lanjut, Jefri menjelaskan mengenai kondisi permukaan bumi yang kurang dapat meresap air hujan. Akar-akar pohon dari hutan heterogen dapat membantu tanah mengikat dan menyimpan air hujan. Jefri mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena berkurangnya secara drastis pohon-pohon yang akarnya mengikat dan menyimpan air pada musim penghujan.[3]

Mengapa Disoroti?

Masalah ini perlu dosoroti karena tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak dihiraukan. Dunia tidak dapat dianalisis dengan mengisolasi hanya satu aspeknya karena “buku alam adalah satu dan tak terpisahkan”. Kerusakan alam sangat terkait dengan budaya yang membentuk koeksistensi manusia. St. Fransiskus dari Asisi pernah mengemukakan bahwa alam adalah rumah kita bersama yang adalah seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka.[4] Melalui alam, Tuhan telah memelihara dan mengasuh setiap manusia. Hilangnya keanekaragaman hayati merupakan dampak kerusakan alam. Banjir dan pertambangan adalah produk muara dari bencana ekologis. Krisis ekologis ini terjadi akibat pembukaan lahan yang mana dilakukan penebangan pohon-pohon secara liar, dan adanya pertambangan.Hal ini kemudian menyebabkan laju perubahan iklim global dan dampaknya bukan hanya untuk daerah yang melakukan perusakan tetapi berdampak pada perubahan iklim global. 

 Solusi terhadap Gereja, Pemerintah dan Masyarakat

 Krisis ekologis sebagai akibat perlakuan buruk manusia terhadap alam menyadarkan setiap orang untuk menata kembali hubungannya dengan sesama ciptaan secara khusus dengan  lingkungan hidupnya. Penataan itu dilakukan oleh manusia dalam rangka membangkitkan kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap kepentingan bersama semua manusia dan sesama ciptaan, yaitu alam ini. Penataan itu dapat dilakukan dalam bentuk kesadaran untuk sungguh-sungguh menjaga dan melindungi alam dari kerusakan dan kehancurannya. Untuk dapat menciptakan hubungan baru itu, masing-masing orang harus menjalankan kewajibannya masing-masing entah itu gereja, pemerintah maupun mayarakat.

 Gereja

 Gereja selaku persekutuan orang yang percaya kepada Kristus tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan persekutuan di antara sesama Gereja dan sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan dan sesama ciptaan. Dalam konteks kerusakan ekologis, Gereja perlu memahami kembali makna kesatuannya dengan seluruh ciptaan. Kalau keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus dipahami sebagai keselamatan untuk seluruh ciptaan maka Gereja dipanggil juga  untuk menyatakan pelayanannya dengan sesama ciptaan. Misi Gereja di dunia adalah melanjutkan misi Allah dan misi Kristus yakni menghadirkan tanda-tanda keselamatan yang nyata dalam pendamaian dan pembaruan seluruh ciptaan. Jika Gereja dipahami sebagai tanda atau bukti ciptaan baru dalam Kristus, maka Gereja dalam sikap dan tindakannya terhadap alam harus pula menampakkan pendamaian dengan lingkungan alam, yakni hidup dalam keharmonisan dengan lingkungan. Gereja yang dimaksudkan di sini bukan hanya gereja dalam arti institusi, tetapi lebih dari pada itu, gereja dalam arti manusia percaya yang terikat pada kasih Kristus.

             Gereja perlu mengambil sikap terhadap pemeliharaan alam atau lingkungan. Robert P. Borrong menegaskan bahwa tugas pemeliharaan lingkungan alam adalah ungkapan  pengejawantahan imannya kepada Allah, sang Pencipta, yang telah membaharui hidupnya dan yang memanggilnya untuk bersaksi bagi dunia tentang kasih Allah yang menyelamatkan.[5] Berkaitan dengan hal ini, Gereja perlu melakukan pembinaan tentang lingkungan secara intensif terhadap umat melalui kegiatan-kegiatan dalam lingkungan gereja. Dalam bidang pendidikan agama, doktrin Gereja tentang penciptaan, pemeliharaan dan penyelamatan Allah perlu diberi makna baru, dengan memperluas makna keselamatan yang mencakup seluruh ciptaan. Alkitab sebagai sumber norma Kristen dapat terus digali dan dikembangkan sebagai sumber informasi tentang masalah-masalah ekologis serta langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan Gereja baik secara bersamaan maupun perorangan. Guna menunjang usaha pembinaan tersebut, Gereja perlu melakukan pengkajian yang terus menerus dan mendalam mengenai teologi lingkungan maupun pandangan tradisi yang dianut masyarakat Indonesia.

  • Pemerintah

            Besarnya dampak negatif yang diakibatkan oleh krisis ekologis seperti banjir, tanah longsor, polusi air dan polusi udara  memerlukan realisasi cepat yang nyata dari pemerintah. Pemerintah dapat melakukan pengkajian dan uji ulang terhadap setiap regulasi yang mengatur mengenai Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Mineral, sehingga tidak ada peraturan atau kebijakan yang saling bertentangan. Dalam hal ini, pemerintah harus tegas dalam menetapkan peraturan atau hukum yang terkait dengan lingkungan alam. Selain aturan dan hukum yang tertulis, pemerintah dapat melakukan penelitian dan pengkajian secara menyeluruh terhadap potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui Sumber Daya Alam yang dapat di eksploitasi dan diproduksi secara optimal baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebagaimana kasus yang menjadi contoh di Indonesia yakni banjir, tanah longsor, polusi air dan polusi udara, pemerintah dapat meningkatkan mutu dan standarisasi pengelolaan lingkungan hidup dan industri pertambangan serta menghentikan penambangan di hutan lindung.

            Dalam bidang pendidikan, pemerintah perlu menerapkan atau memfasilitasi pendidikan tentang lingkungan alam dari setiap jenjang pendidikan. Pendidikan itu dapat dilakukan entah dalam keluarga maupun pendidikan umum di sekolah dan kampus. Isi pendidikan mencakup teori maupun praktik yang memberikan kesempatan kepada warga untuk memberikan apresiasi terhadap lingkungannya. Selain itu, pendidikan dapat dilakukan dengan karya nyata dalam mengusahakan perlindungan dan pelestarian lingkungan seperti membersihkan sampah dalam kerja bakti dan melakukan penghijauan atau reboisasi. Dalam masyarakat, pemerintah juga perlu memberikan sosialisi terkait dengan lingkungan alam yang mana sosialisasi tersebut dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa lingkungan alam memiliki manfaat yang sangat penting bagi manusia terutama untuk kebutuhannya.[6] Hilangnya keseimbangan ekosistem tentu saja akan menyebabkan krisis yang sangat merugikan manusia. Dengan kesadaran yang demikian maka manusia akan menjaga dan melestarikan Sumber Daya Alam.

  • Masyarakat

            Adanya krisis ekologi bukan suatu hal yang bisa diabaikan. Sebab krisis ekologi sangat mempengaruhi manusia. Untuk itu, masyarakat harus pertama-tama memahami pentingnya lingkungan alam dengan mengikuti program pendidikan di sekolah atau kampus, atau sosialisasi dalam masyarakat. Sebagai implementasinya, setiap orang perlu menanggapinya sesuai dengan kondisi lingkungannya masing-masing. Untuk masyarakat yang tinggal di kota dapat memprakarsai pola hidup disiplin membuang sampah dan menghemat penggunaan bahan pencemar. Untuk itu, diusahakan untuk membentuk jaringan kerja yang dapat menjadi pelopor kegiatan cinta lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mendorong dan menggerakan setiap orang agar berperan serta dalam kegiatan  mencegah pencemaran dan memulihkan lingkungan yang terlanjur dirusak oleh pencemaran. Misalnya, gerakan kebersihan, gerakan penghematan dan gerakan daur ulang sampah.

            Masyarakat di pedesaan lebih gampang melihat permasalahan lingkungannya, seperti kasus banjir, tanah longsor, polusi air dan polusi udara yang terjadi. Berdasarkan hal yang demikian setiap orang dapat menjadi pelaku yang menciptakan lingkungan yang lestari, misalnya dengan menggalakan penghijauan, penggunaan pupuk alam dan obat hama organik. Masyarakat desa pun dapat membentuk jaringan kerja sama antar-jemaat dengan corak lingkungan yang bervariasi untuk tukar pengalaman atau untuk bekerja bersama. Tujuan dari gerakan ini ialah untuk menciptakan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keharmonisan manusia dengan lingkungannya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Peter C. Aman bahwa manusia merupakan bagian integral dari dunianya.[7] Manusia bukan subyek yang terpisah dari dunianya.

  • Kesimpulan 

            Manusia dalam hidupnya memiliki kebutuhan yang salah satunya adalah pemenuhan ekonomi. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya ini, manusia seringkali mengeksploitasi alam secara liar tanpa ada perhitungan dampak yang akan dialami. Akibatnya, keanekaragaman hayati menjadi punah. Berdasarkan realita yang demikian, Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Laudato Si sebagai bentuk keprihatinannya terhadap alam. Hal ini secara jelas tertuang dalam artikel 32 dan 33 yang membahas mengenai hilangnya keanekaragaman hayati. Masalah ini terjadi juga di Indonesia seperti banjir, polusi air dan polusi udara.Masalah ini perlu diatasi karena tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak dihiraukan. Dunia tidak dapat dianalisis dengan mengisolasi hanya satu aspeknya karena “buku alam adalah satu dan tak terpisahkan”. Kerusakan alam sangat terkait dengan budaya yang membentuk koeksistensi manusia. Dengan kata lain, alam adalah rumah bersama.Untuk mengatasi masalah ekologis ini, maka setiap orang entah itu gereja, pemerintah maupun masyarakat harus menjalankan kewajibannya masing-masing untuk memelihara dan melestarikan alam ini. Dengan demikian, terciptalah keseimbangan alam dan manusia.

Daftar Pustaka

 Buku

Paus Fransiskus. EnsiklikLaudato Si’. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2016, 7.

Borrong, Robert P.  Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999, 258.

Aman, Peter C. Iman yang Merangkul Bumi. Jakarta: Obor, 2013, 159.

Internet

https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/15/083100265/banjir-kalsel-meluasnya-lahan-sawit-dan-masifnya-pertambangan?page=all. Diunduh: 27/11/2021 Pukul 17:21 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun