Ada satu pemandangan yang nggak akan aku lupa.
Seorang lelaki, duduk sendirian di kursi barisan tengah saat misa pemakaman istrinya. Tangannya gemetar. Mukanya letih. Bukan karena kurang tidur semata, tapi karena beban hidup yang seperti nggak habis-habis. Aku kenal dia. Bukan akrab banget, tapi cukup tahu. Dulunya orang ini cukup terpandang, punya pekerjaan bagus, kehidupan yang... ya, dari luar terlihat mapan dan lengkap. Sampai suatu hari, semuanya runtuh. Apa yang terjadi, nggak usah aku ceritakan detailnya. Karena ini bukan soal aib. Ini tentang jatuh, dan bagaimana seseorang mencoba bangkit. Yang jelas, satu keputusan yang keliru, bikin semua berubah. Pekerjaan hilang. Reputasi hancur. Orang-orang menjauh. Keluarga sempat goyah. Tapi yang paling berat... adalah cara dia harus menghadapi semuanya sambil tetap jadi ayah, jadi suami, dan tetap bertahan hidup di tengah pandangan sinis. Awalnya aku mikir, ya pantas lah. Konsekuensi, bro. Dunia ini fair, dan kadang juga kejam. Apa yang kita tabur, kita tuai. Semua ada harganya. Tapi entah kenapa, semakin hari, aku nggak bisa terus-terusan pakai kacamata hitam putih kayak gitu. Terlalu banyak abu-abu di dunia ini!
Setelah kejadian itu, dia nggak kabur. Nggak menyalahkan siapa-siapa. Nggak main drama juga. Yang dia lakukan... hanya mencoba jalan pelan-pelan ke arah yang lebih baik. Dia mulai dari bawah. Berusaha dekat dengan anak anak, ramah dengan orang di sekitar, bantu-bantu acara lingkungan. Tapi yang paling bikin aku salut: dia nggak pernah bawa-bawa masa lalunya buat minta belas kasihan. Kalau orang tanya kenapa hidupnya berubah drastis, dia cuma bilang, "Iya, lagi belajar kembali banyak hal."
Lalu... hari itu datang. Istrinya meninggal. Mendadak. Cepat. Dan saat aku liat dia duduk di kursi misa itu, sendirian, air mata menetes pelan, aku merasa seperti ditampar pelan di hati. Bukan karena rasa kasihan doang. Tapi karena tiba-tiba muncul pertanyaan dalam diri: "Kalau itu aku, kuat nggak ya?" Karena bukan cuma kehilangan pasangan hidup. Tapi kehilangan satu-satunya orang yang tetap bertahan, bahkan ketika dunia menjauh. Kehilangan seseorang yang masih bilang "aku percaya kamu bisa berubah," di saat semua orang sibuk bilang "emang dasar." Duh!
Kadang, ngeliat orang seperti itu bikin kita malu sendiri. Kita yang belum tentu bersih-bersih amat, tapi cepet banget ngecap orang. Kita yang belum tentu setia-setia amat, tapi paling keras bersuara soal kesetiaan. Kita yang belum tentu lurus-lurus amat, tapi paling getol ngomel soal moral. Padahal, siapa kita? Sempurna aja belum! Â Aku jadi keinget satu bagian dari Injil, yang sejak kecil udah sering aku dengar! Tentang perempuan yang mau dirajam karena dosanya, dan Yesus dengan tenang bilang: "Siapa yang tidak berdosa, silakan lempar batu pertama." Nggak ada yang berani. Ngacir semua. Karena semua sadar, kita ini manusia. Dan manusia itu tempatnya salah. Tapi juga tempatnya berubah.
Lelaki itu, mungkin dulu jatuh. Mungkin pernah menyakiti. Tapi hari ini, dia berdiri lagi. Meskipun tertatih. Meskipun kehilangan. Tapi dia nggak nyalahin siapa-siapa. Dia cuma... terus jalan! Dan itu, menurutku, bentuk kekuatan yang nggak banyak orang punya. Bertobat itu bukan soal bikin status bijak, atau menjalani satu moment dengan nama "bertobat", setelah itu....terserah. Tapi soal kerja keras diam-diam, senyap, Â ngelawan diri sendiri, dan tetap memilih jadi baik meski nggak ada yang tepuk tangan. Kita gampang kagum sama orang yang sukses, punya banyak pencapaian. Tapi menurutku, orang kayak dia, Â yang masih mau bangkit meski dihantam kiri kanan, layak banget dihormati.
Pernah nggak kamu ngerasa kalau Tuhan itu diem aja saat kita jatuh? Tapi coba perhatiin lebih jeli: mungkin Dia nggak teriak, tapi Dia kirim tanda. Lewat orang-orang yang tetap tinggal. Lewat kekuatan untuk bangun pagi. Lewat senyum anak-anak yang tetap butuh pelukan. Dan lewat proses panjang... yang meski sakit, tapi sebenarnya nyembuhin.
Aku nggak bilang semua orang harus dikasih kesempatan kedua. Kadang ada batas, dan itu valid. Tapi yang aku pelajari dari cerita ini adalah: kita nggak ditugaskan buat ngitung-ngitung seberapa pantas orang lain ditebus. Tugas kita cuma satu: jangan jadi batu yang siap dilempar. Karena bisa jadi, kita juga butuh ampunan yang sama suatu hari nanti!
Aku tahu, kadang lebih gampang jadi sinis daripada percaya. Lebih gampang ngejek daripada mendoakan. Tapi coba deh tahan dikit. Lihat lebih lama. Dengar lebih pelan. Hati itu bisa berubah, dan hidup juga. Lelaki itu mungkin bukan pahlawan. Tapi dia bukan penjahat juga. Dia manusia, yang lagi belajar ulang cara jadi baik, meski satu-satunya saksi perjuangannya sekarang sudah tiada. Dan mungkin, justru itu yang bikin semua ini makin mengharukan.