Mohon tunggu...
Andreas Sihotang
Andreas Sihotang Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti dan Pekerja Sosial

Pekerja sosial di organisasi non pemerintah, bekerja di bidang pengembangan masyarakat dan pengembangan perdamaian, saat ini sedang studi S3 Public Affairs di Amerika.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Randomisasi dalam Penelitian dan Evaluasi Kebijakan Publik

6 September 2020   23:47 Diperbarui: 25 Mei 2021   21:09 1916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Randomisasi dalam Penelitian Vaksin Covid-19 dan Evaluasi Kebijakan Publik (unsplash/cdc)

Judul tulisan ini mungkin agak kepanjangan. Mungkin juga kurang begitu bisa dipahami. Penyebabnya adalah kata randomisasi atau pengacakan dalam judul ini. Tapi itulah yang mau dijelaskan. Mengapa perlu dijelaskan? 

Karena akhir-akhir ini kata randomisasi disinggung dalam beberapa tulisan opini dan komentar. Salah satunya adalah ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjelaskan temuan mereka terhadap prosedur penelitian yang dilakukan oleh Universitas Airlangga untuk menemukan obat Covid-19. 

Penelitian tersebut dianggap kurang valid, karena tidak dilakukan secara acak. Kepala BPOM, Penny Lukito, mengatakan bahwa suatu riset harus dilakukan secara acak supaya merepresentasikan populasi yang tepat (Kompas, 19 Agustus, 2020). Apa yang disampaikan Kepala BPOM ini lebih terkait dengan apa yang disebut dalam penelitian sebagai 'external validity' atau validitas eksternal. 

Baca juga : Efek Samping Vaksin Covid-19 dengan Dua Merek Berbeda? Penelitian Awal Memberikan Jawaban

Validitas eksteral ini penting untuk 'generalizability', atau kemampuan untuk membuat suatu hasil penelitian dipakai secara umum. Untuk menjamin validitas eksternal ini, pengacakan atau randomisasi dilakukan dalam pengambilan sample, atau yang lazim dikenal dengan teknik 'random sampling'.

Tapi ada juga pengacakan atau randomisasi yang terkait dengan 'internal validity'. Dan ini sebenarnya lebih penting karena menyangkut validitas dari penelitian itu sendiri. Kalau penelitiannya tidak valid secara internal, maka tidak akan bisa dipakai secara eksternal, meskipun pengambilan sample sudah dilakukan secara acak atau random. 

Randomisasi untuk validitas internal ini bukan terkait 'random sampling', melainkan 'random assignment'. Yang dimaksud dengan 'random assignment' ini adalah penempatan secara acak subyek atau sample penelitian ke dalam kelompok 'treatment' dan 'control'. 

Kelompok 'treatment' adalah kelompok yang mendapat 'treatment' atau perlakuan, sedangkan kelompok 'control' adalah kelompok yang tidak mendapat 'treatment'. Dalam penelitian, metode ini disebut sebagai 'Randomized Controlled Trial (RCT)' dan disebut sebagai 'golden standard' dalam membuat 'causal inference' atau hubungan sebab akibat.

Mengapa perlu penempatan secara acak atau randomisasi? Teorinya sederhana. Penempatan secara acak atau randomisasi ini membuat kelompok treatment dan kontrol menjadi sama secara karakteristik. Kesamaan ini membuat perbandingan antara kedua kelompok tersebut menjadi perbandingan 'apple to apple'. 

Baca juga : Tips Menilai dan Merumuskan Definisi Variabel Penelitian

Dalam penelitian, hal ini sangat penting untuk menghilangkan 'selection bias', atau bias yang ditimbulkan dari seleksi subyek penelitian. Jika tidak diatasi, bias ini memberikan hasil penelitian yang tidak valid. Dalam penelitian pengobatan, hasil penelitian yang tidak valid akan sangat membahayakan. Bukan hanya biaya, nyawapun bisa melayang sebagai akibatnya. 

Sebagai gambaran, misalkan saja suatu penelitian dilakukan untuk menguji keampuhan atau efektivitas obat X untuk mengobati Covid-19. Penelitian dilakukan tanpa penempatan secara acak subyek penelitian yang akan diteliti. 

Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mendapatkan obat X sembuh setelah lima hari mengkonsumsi obat, sedangkan yang tidak mendapatkan obat X tidak sembuh. Hasil penelitian ini tidak bisa dikatakan valid, karena kemungkinan bias seleksi ('selection bias') akibat tidak dilakukannya randomisasi. 

Misalnya, kelompok orang yang mendapatkan obat X dan sembuh ternyata secara rata-rata mempunyai tingkat keparahan yang lebih ringan dibandingkan yang tidak mendapatkan obat. Atau bisa saja kelompok tersebut umumnya lebih muda secara usia dan mempunyai daya tahan tubuh yang lebih baik. Jika hal-hal seperti ini tidak diperhatikan, maka penelitian dapat menghasilkan kesimpulan yang salah. Randomisasi dalam metode RCT dilakukan untuk mengatasi hal ini.       

Metode RCT saat ini tidak saja digunakan dalam penelitian pengobatan, tapi juga dalam penelitian sosial-ekonomi, termasuk evaluasi program atau kebijakan publik, untuk melihat efektivitas suatu program atau kebijakan. Sama seperti obat yang dibuat untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu, suatu program atau kebijakan dibuat untuk mengatasi masalah sosial tertentu. Pertanyan yang sering dijawab dengan metode ini adalah apakah program X meningkatkan atau menghasilkan Y. 

Sebagai contoh, apakah pendidikan meningkatkan penghasilan, atau apakah program pelatihan kerja meningkatkan pekerjaan, atau apakah sarapan pagi meningkatkan prestasi siswa., dan lain sebagainya. 

Oleh karena itu, metode ini sering digunakan untuk menentukan program atau kebijakan yang berbasis bukti ('evidence-based policy'). Penerima hadiah Nobel di bidang ekonomi tahun 2019, Esther Dulfo, Abhijit Banarjee dan Michael Kremer kerap melakukan penelitian dengan menggunakan metode RCT untuk menguji efektivitas program atau kebijakan sosial-ekonomi tertentu dalam mengatasi berbagai masalah kemiskinan di berbagai negara.

Di Amerika sendiri, banyak program dan kebijakan publik yang dilakukan setelah mendapatkan hasil penelitian dengan metode RCT. Salah satunya adalah program pra-sekolah yang disebut dengan 'Head Start', yang ditujukan bagi puluhan juta anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Program ini dijalankan sejak tahun 1965, dengan merujuk pada hasil penelitian dengan metode RCT terhadap 123 anak pra-sekolah di Michigan pada tahun 1962.

Baca juga : Puan Maharani Dorong Solidaritas Pemerataan Vaksin Dunia, Biden Bagikan Vaksin COVID-19 hingga 80 Juta Dosis

Contoh lain dari penelitian dengan metode RCT sebagai dasar pembuatan kebijakan adalah penelitian untuk melihat efektivitas dari rasio guru dan murid yang lebih kecil. Kebijakan untuk mewajibkan kelas dengan rasio guru dan murid yang lebih kecil tentu akan berimplikasi pada meningkatnya pembiayaan pendidikan, misalnya untuk membiayai penambahan ruang kelas dan jumlah guru. 

Untuk itu, kebijakan seperti ini harus didasarkan pada hasil penelitian yang valid. Pemerintah negara bagian Tennessee bahkan pernah menggelontorkan anggaran sebesar 12 juta dolar untuk mendanai penelitian ini yang melibatkan ribuan siswa.

Kadang kita mungkin berpikir bahwa jawaban dari beberapa pertanyaan penelitian sudah jelas. Misalkan, ukuran kelas yang lebih kecil dalam hal rasio guru dan murid sudah pasti akan lebih efektif dan meningkatkan prestasi siswa. 

Tapi kalau tidak didasarkan pada hasil penelitian, anggapan ini hanya bersifat hipotesis. Hasil penelitian yang tidak valid atau bias bisa juga memberikan kesimpulan yang salah. 

Membandingkan kelas dengan rasio guru-murid yang lebih kecil dengan kelas dengan rasio guru-murid yang lebih besar dimana guru dan siswa dari dua kelompok ini mempunyai karakteristik yang berbeda, akan memberikan hasil yang tidak valid. Sekali lagi, randomisasi diperlukan untuk mengatasi bias seleksi ini.       

Pada tahun 2002, pemerintah federal Amerika Serikat mengeluarkan Undang-Undang Reformasi Ilmu Pendidikan yang mewajibkan penggunaan metode seperti RCT atau sejenisnya dalam penelitian di bidang Pendidikan, bilamana penelitian dilakukan dengan pembiayaan dari pemerintah federal. 

Tujuan dari Undang-Undang ini tentu untuk menjamin validitas dari hasil penelitian dengan biaya pemerintah. Karena hasil dari penelitian yang valid bisa menjadi dasar dari suatu program atau kebijakan publik. Bagaimana dengan kebijakan publik di Indonesia? Kita juga perlu mendasari atau mendukungnya dengan hasil penelitian yang valid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun