Mohon tunggu...
Andrea Jane
Andrea Jane Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Public Speaker | News Writer

Verba Volant, Scripta Manent. | karmajanaandrea@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berdialog Sejenak dengan Albert Camus

25 April 2020   07:14 Diperbarui: 25 April 2020   07:26 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Albert Camus. Source: aargauerzeitung.ch

Sudah satu bulan lebih sejak alasan yang membuat saya keluar rumah hanyalah untuk mengambil paket atau kehabisan cemilan. Selebihnya, saya menghabiskan waktu dengan duduk di jendela sambil minum teh hangat dan mengerjakan hal-hal yang perlu diselesaikan. 

Kemudian saya juga sudah membuat janji dengan diri sendiri, kalau setelah ini semua selesai, saya tidak akan marah-marah lagi saat harus berdesakan di Stasiun Palmerah atau saat terjebak macet di Tol Jorr. 

Rasanya aneh sekali ya. Pasti sekarang kita semua cuma berharap agar kehidupan sehari-sehari cepat kembali normal seperti sebelumnya. Tapi, apakah bisa semuanya kembali normal? 

Barusan saja saya menyelesaikan bab terakhir novel La Peste (The Plague dalam Bahasa Inggris dan Sampar dalam Bahasa Indonesia) karya Albert Camus dengan ditemani alunan musik jazz St. James Infimary. 

Novel ini mengisahkan tentang kebijakan lockdown di Kota Oran yang terjangkit sebuah penyakit menular dan mematikan, di mana inspirasinya adalah salah satu pandemi paling besar dalam sejarah manusia yang menyebabkan jumlah kematian sebanyak 75 - 200 juta orang; The Black Death. 


Pernah mendengar pernyataan yang mengatakan bahwa sejarah akan selalu berulang? Kisah, setting, dan tokoh-tokohnya memang akan berbeda; namun memiliki esensi yang sama. The Great Depression (1929) dan The Great Recession (2008) misalnya, atau tragedi tenggelamnya kapal perang Vasa milik Raja Swedia di tahun 1628 yang kemudian terulang kembali di tahun 1912 dengan kesalahan yang sama namun kisah berbeda. Tragedi kedua ini kemudian diangkat menjadi sebuah film yang sangat terkenal, yaitu Titanic. 

Sama seperti dua kejadian di atas, kini Pandemi The Black Death seakan terulang lagi sebagai Pandemi Corona/Covid 19. Kedua kejadian ini tidak hanya mengingatkan kita mengenai pentingnya menjaga kebersihan, tetapi juga aspek-aspek lainnya dalam kehidupan. 

Camus mengisahkan bahwa ada berbagai macam jenis orang yang memiliki reaksi berbeda saat menghadapi wabah; ada yang tidak peduli, ada yang merasa terjerat dalam kutukan Tuhan, ada yang menganggap wabah sebagai hal yang positif, dan ada yang berusaha untuk mengambil keuntungan. 

Intinya, Camus ingin mengajak kita untuk merenungi eksistensi manusia di hadapan bencana dan kematian. Seringkali, saat dihadapkan dengan bencana, hidup ini menjadi terasa absurd dan muncul keresahan. Kita jadi bingung, kenapa hal seperti ini harus terjadi? 

Camus melihat bahwa selama ini manusia selalu berusaha untuk mencari makna hidup dan mengisi kekosongan tersebut. Kemudian pencarian tersebut akan berakhir di antara satu dari dua hal ini: pertama, hidup ini tidak bermakna. Atau kedua, menggantungkan tujuan hidup kepada kekuatan yang lebih tinggi. 

Manusia memiliki keinginan inheren untuk memberikan makna kepada segalanya, agar semuanya tertata rapi dan masuk akal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah pemuja rasionalitas. Mengutip dari perkataan Camus, "The world itself is not reasonable. That is all can be said." 

Kita selalu berusaha untuk mencari arti dari segala hal, padahal dunia ini sendiri tidak memiliki arti. Sama halnya seperti keadaan saat ini, seringkali kita berusaha untuk merasionalisasi alasan dibalik terjadinya Pandemi Corona. Ada yang membuat dan mempercayai berbagai macam teori konspirasi, ada yang mengatakan bahwa ini kutukan dari Tuhan, dan ada yang percaya bahwa alam sedang menyembuhkan dirinya sendiri karena kita manusia adalah virusnya. 

Namun, apa gunanya mencari-cari alasan dari semua hal yang terjadi? Lewat karakter Dokter Rieux di novel La Peste yang tetap merawat orang-orang sakit murni atas dasar kemanusiaan, Camus mengajak kita untuk tetap melakukan yang terbaik tanpa harus menyibukkan diri untuk mencari alasan dibalik segala hal. 

Tidak ada 'silver lining' dari pandemi ini. Banyak orang meninggal, banyak juga yang kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggalnya. Pandemi Corona bukanlah hal yang perlu disyukuri karena alasan apapun; entah karena langit terlihat lebih biru atau karena sekolah diliburkan. 

Kembali ke pertanyaan awal, apakah bisa semuanya kembali normal? Tidak, dan memang seharusnya kita tidak kembali normal. Sebagaimana Camus mengajak untuk mewujudkan tiga hal: perdamaian antar bangsa, menyelaraskan pekerjaan dengan alam, dan membangun kembali persatuan antar manusia. 

Inilah keadaan normal yang baru. Bumi tidak lagi bisa diperlakukan sebagai objek, pembangunan bisnis dan ekonomi harus diselaraskan dengan alam. Pandemi ini juga menunjukkan bahwa kita semua sama; tidak ada satupun ras, suku, maupun agama yang kebal terhadap penyakit. Kalau kita semua sama, harusnya tidak ada lagi konflik yang terjadi hanya karena perbedaan. 

Bicara soal normal yang baru, Rieux juga mengingatkan di akhir cerita bahwa wabah di Kota Oran tidak pernah benar-benar pergi. Masih ada virus yang tersisa di keset-keset dan baju. Setelah ini, kita juga tetap akan hidup dengan virus yang tidak pernah hilang dan akhirnya terbiasa dengan itu. Seperti kalimat dari novel La Peste yang sekaligus akan menutup tulisan kali ini: 

"One can't forget everything, however great one's wish to do so; the plague was bound to leave traces, anyhow, in people's hearts".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun