Mohon tunggu...
A. S. Narendra
A. S. Narendra Mohon Tunggu... Administrasi - Tunggu sebentar, tulisan belum selesai diketik...

Jika kau bukan anak raja dan bukan anak Ulama besar, maka menulislah. --Imam Ghazali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siaturahim yang Tertunda “Selamat Jalan Prof...”

23 Oktober 2014   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:57 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang ini mendung bergelayut di kota Jogja. Mendung tersebut seakan-akan menjadi wujud keikutsertaan alam yang ikut berkabung atas kepergian salah satu putra terbaik bangsa Indonesia, Prof. Dr. dr. Salugu Maesadji Tjokronagoro, Sp.Rad, Onk.

Ketika memutuskan menikah dengan seorang perawat yang bekerja di RSUP Sanglah-Bali dulu, sosok beliaulah yang terlintas di kepala. Posisi beliau sebagai guru besar di UGM bisa menjadi referensi untuk memuluskan rencana saya memindahkan-dinaskan sang perawat ke RSUP dr. Sadjito, rumah sakit pusat pendidikan yang berada di Jogjakarta. Saat itu, saya bahkan belum hafal nama Beliau. Terlalu panjang dan agak sulit dilafalkan.

Rencana tinggallah rencana. Jarak Bali-Jogja yang jauh menjadi kendala kami ber-silaturahim. Pertemuan keluarga besar pasca Lebaran pun tiada pernah mempertemukan kami, hingga saya mendapat BBM pagi ini yang mengabarkan kepergian Beliau untuk selamanya.

Beliau, Prof. Dr. dr. Salugu Maesadji Tjokronagoro, Sp.Rad,Onk., sungguh salah satu putra terbaik bangsa. Profesor adalah gelar tertinggi di pendidikan tinggi seluruh dunia. Silahkan dihitung secara statistik, ada berapa profesor dari seribu orang penduduk. Nah, dari informasi di sini, diantara profesor di Fakultas Kedokteran UGM, Beliau adalah salah satu dari dua guru besar Bagian Radiologi, artinya apabila Beliau wafat, guru besar besar Bagian Radiologi di UGM tinggal satu! Betapa sulitnya menjadi seorang guru besar. Jadi guru kecil saja begitu sulit, apalagi guru honorer yang gajinya di-ncrit-ncrit dan diberi beban sama seperti guru tetap.

Andre, putra almarhum yang hampir seusia saya menuturkan dengan gamblang kronologi kepergian Sang Guru besar. Kejadiannya hari Ahad (19/10) sore, Pak Prof dibawa ke RS Panti Rapih karena terkena serangan stroke. Malamnya dilakukan operasi pengangkatan gumpalan darah. Operasi yang memiliki peluang 10% keberhasilan itu berhasil dilakukan. Pak Prof berhasil lolos dari maut. Pagi hari tadi, sekitar puluk 6.55 Pak Prof berpulang. Operasi yang berhasil dilakukan pada Ahad malam lalu ternyata masih menyisakan gumpalan darah. Menurut penuturan Andre lagi, darah Pak Prof memang mudah menggumpal. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun...

Sekitar pukul 11 tadi almarhum disemayamkan di rumah duka, lalu menjelang Dzuhur, pukul 11.30 dibawa ke Balairung UGM untuk pemberian kehormatan terakhir di almamater yang telah Beliau perjuangkan sejak awal menempuh pendidikan hingga akhir hayat. Almarhum adalah lulusan doktor pertama di perguruan tinggi dengan nama seorang Mahapatih ini. Dalam pidato singkatnya, Prof. Pratikno, rektor UGM yang konon akan diangkat menjadi menteri menyebutkan tiga poin jasa terbesar almarhum, yaitu mengembangkan dan meneliti kanker dari sisi radiologi. Itu tercermin dari pidato pengukuhan guru besar almarhum yang berjudul “Peranan Radioterapi dalam Penanggulangan Penyakit Kanker”. Gelar “Onk.” di akhir nama beliau singkatan dari Onkologi, yaitu ilmu sub-bidang medis yang mempelajari dan merawat kanker. Pak Rektor menuturkan juga, riset dan publikasi tentang kanker adalah jasa besar beliau yang lain. Satu lagi jasa besar beliau adalah tergabung dalam Indonesian Radiologist… entah apa tadi kelanjutannya. Pak rektor berbicara bahasa Inggris terlalu cepat. Telinga Jawa saya gak mampu menangkap kecapatan itu.

[caption id="attachment_368611" align="aligncenter" width="562" caption="Pidato Prof. Praktikno, Rektor UGM. (Dokpri)"][/caption]

***

Kematian merupakan guru yang paling keren, karena itu sejak dini ada baiknya kita berusaha keras mempersiapkannya. Salah satu bentuk persiapan adalah merespon dengan segera panggilan Tuhan yang dikumandangkan lewat speaker. Panggilan itu adalah panggilan yang selalu diperdengarkan ketika hidup. Saya melakukan panggilan itu kepada putri saya yang baru lahir, kelak ketika saya wafat, para pelayat yang mengantarkan saya akan mengumandangkan panggilan terakhir di liang lahat. Entah siapa yang mengumandangkan panggilan di telinga saya ketika saya muncul ke dunia fana ini dulu, alhamdulillah puji Tuhan panggilan itu tidak perlu dilakukan menggunakan speaker karena saat itu telinga bayi saya masih sensitif. Sekarang ini, sudah diberi speaker pun, panggilan itu tidak terdengar. Lebih kencang terdengar teriakan kerja… kerja… kerja… yang diperdengarkan Dahlan Iskan. Apakah panggilan yang saya maksudkan itu? tentu saja panggilan adzan.

Ada cara ekstrim mempersiapkan kematian, yaitu tidur dengan sprei dan berselimut kain dengan bahan yang sama, yaitu kain kafan. Dipannya pun bisa dibentuk menjadi seperti batu nisan. Ketika menyampaikan ide membuat batu nisan untuk diri saya sendiri dengan tulisan “telah meninggal dengan tenang… bla-bla-bla”, ibu saya langsung ngamuk-ngamuk. Semoga beliau tidak berpikir saya gila. Dengan cara ekstrim yang saya ungkapkan di kalimat sebelumnya, tidur menjadi bagian dari hidup yang mengerikan. Memang tidur adalah sesuatu agak dihindari oleh para salik, ini tercantum dalam sebuah kitab suci “mereka sedikit sekali tidur di waktu malan. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar" (QS.Adz Dzariyat: 17-18)

Kematian adalah awal dari kehidupan yang baru. Entah buat jenazah yang maupun keluarga yang ditinggalkan. Alangkah indahnya orang yang telah mempersiapkan kematian. Bukan hanya menuju surga dan terhindar dari api neraka, mereka juga menemui pencipta kedua-Nya secara langsung. Bukan sekedar lewat kitab-Nya saja.

[caption id="attachment_368619" align="aligncenter" width="490" caption="Pidato Perpisahan Keluarga, Andre (kanan). (Dokpri)"]

1414057665116159837
1414057665116159837
[/caption]

Setelah disemayamkan dan pemberian prosesi penghormatan terahkir di Balairung UGM, Prof. Dr. dr. Salugu Maesadji Tjokronagoro, Sp.Rad, Onk. dimakamkan di kompleks pemakaman Al Husain, Krakitan, kompleks pemakaman di pondok pesantren yang pimpinannya masih tergolong keluarga besar kami. Entah beliau atau keluarga almarhum yang memutuskan lokasi pemakaman, namun pilihan itu, dibanding pemakaman di kompleks pemakaman UGM, menjadi isyarat bahwa ketika almarhum selesai menunaikan tugas dunia menjadi umara, beliau ingin bertempat tinggal terakhir di lingkungan ulama.

Selamat jalan Pak Prof… Saya gagal silaturahim. Tulisan ini saya niatkan untuk mengabadikan kegagalan itu, sekaligus menjadi penghormatan dan doa saya semoga almarhum mendapat tempat terbaik di sisi-Nya dan kembali bertemu dengan-Nya. Aamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun