Berseberangan dengan itu, wartawan-wartawan yang "dikejar" target trafik, memilih copy paste. Menyalin dan menempel dalam words atau CMS baru, jika ada waktu sedikit-sedikit gonta-ganti kata. Misal; kata "pun" jadi "juga", atau "menghantam" jadi  "memukul".
Less effort but high impact. Sedikit kerja, namun hasilnya paling tidak masuk halaman pertama di Google Search. Bahkan topik yang sebenarnya tak relevan dengan medianya, lantas di-relevan-relevan-kan biar ikut menikmati keriuhan viralitas. Kalau sudah begitu, lalu mau apa?
Kuantitas produk warta yang melimpah itu di jagad maya bukannya terbuang. Melainkan terakumulasi dan tersimpan di mana-mana. Yang oleh perusahaan-perusahaan teknologi ditangkap, diolah dan diproduksi menjadi layanan baru, menggunakan tekonologi kecerdasan buatan.
Lalu jadi tren masa depan. Dan, bikin perusahaan-perusahaan media blingsatan lagi. Sampai membuat sayembara kepada karyawannya, dicari gagasan paling keren pengaplikasian Artificial Intelligence (AI). Padahal di luar sana sedang mewacana, "Bagaimana nasib wartawan-wartawan dengan hadirnya teknologi AI? Akan tergantikan?" (*)