Aku menyerahkan buku itu ke guruku dan dia senang sekali. Dan dia tertawa-tawa ketika sedang membacanya. Dan ketika dia tertawa dan melirikku di ujung matanya, ada perasaan marah kecil yang tiba-tiba kurasakan. Seolah lelaki itu sedang menertawakan nasibku. Tapi itu hanya perasaan sesaat. Namun lama kelamaan suara tawanya sungguh menggangguku. Karena mengingatkanku dengan ayahku.
Suatu malam, aku tak lagi tidur di sampingnya. Aku mencari tempat sendiri yang menurutku bisa jauh darinya. Tepat malam itu aku bermimpi dengan bertemu ibuku. Dia tak lagi setengah meter mengambang dari udara. Melainkan menapak tanah. Dia berkata, terimakasih sambil mengusap-ngusap kepalaku. Lalu menyelipkan rambut di antara telingaku dengan lembut dan melanjutkan kata-katanya, "Jangan pernah pulang ke dalam dirimu sendiri."
Aku menggeleng.
Ibuku bertanya lagi. "Di mana ayah?"
Aku menggeleng.
Kemudian dia bertanya lagi. "Di mana kamu?"
"Oh tidak apa-apa," katanya. Lalu kurasakan dimemelukku erat.
***
Pagi hari aku terbangun agak malas-malasan. Dan seolah merasa tak bisa menggerakan tubuh sendiri aku menyadari ternyata aku sedang dipeluk oleh seorang laki-laki. Aku tidak membencinya. Sudah kuputuskan aku tidak lagi membencinya, aku sudah melupakannya. Jadi ketika tahu seseorang memelukku seperti ayah memeluk putranya, aku menganggap dia lah satu-satunya yang kumiliki.
(*)
Andi Wi
Ajibarang, 10 Februari 2018