Beliau menjawab sambil memasukan tumisan ke dalam wajan penggorengan dari atas talenan kayu. Beliau memandang saya beberapa detik, dan di sela-sela ibu melirik, mungkin beliau sempat berpikir, betapa malang nasib putranya, karena tentu saja ia tak bisa berlama-lama memandang saya alih-alih memandang penggorengan yang lebih menarik.
“Cerita ayahmu, asal kau tahu, tapi ini rahasia kita berdua ya? Janji?”
Saya mengangguk. Jarak kami hanya satu lengan orang dewasa. Masih menggenggam susuk, ibu mendekati saya, dan kata ibu, ayah tidak suka jika kejadian ini diungkit dan diceritakan pada siapa pun termasuk putranya sendiri, karena menurut ayah, itu adalah perbuatan yang memalukan sepanjang hidupnya.
Aroma meriah bawang goreng menyeruak masuk ke dalam hidung saya. Ingin sekali terpejam dan menghirupnya dalam-dalam. Tapi rahasia besar yang ingin ibu bagikan menghalangi itu semua.
“Ayahmu,” ia terbatuk kecil, “pernah menyatakan cintanya pada saya sebanyak 10.000.049 kali.”
Saya tahu Ayah. Ia adalah jenis manusia idealis dan dapat menerima kenyataan. Saya tidak percaya.
“Kau percaya tidak?”
“Entahlah, Bu!”
“Caius...?!”
“Saya Bu. Sebentar..., memang ibu benar-benar telah menghitungnya?” Saya bertanya sekaligus meragukan fakta itu.
“Oh, tentu, tentu saja. Ibu bilang pada ayahmu kalau ia bersungguh-sungguh mencintai saya, ia harus sepakat buatkan sebuah kitab –karena kalau saya minta candi sudah tidak zaman-- , dan di dalam kitab tersebut yang harus di tulis tangannya sendiri, menyatakan bahwa: ‘Saya Emmanuel Kavila Pakel mencintai Emmily Bestari dengan kekayaan dan kemiskinan dan kekurangan dan kelebihan yang nyata melekat pada dirinya.'