Mencuri. Pernah. Sekali dan sebagai ganjaran ibu menghukumku selama sebulan penuh tanpa memberi uang jajan. Saat itu aku kelas 3 SD, mencuri uang untuk membeli keong dengan harga yang keterlaluan mahal hanya karena binatang yang cara berjalannya miring dapat merangkak lebih cepat dari rata-rata keong milik teman sepermainanku di kampung. Aku tidak keberatan ibu menghukumku sekejam itu. Toh, ketika aku menang dalam perlombaan adu cepat keong, aku selalu menang dan barang siapa yang mengikuti perlombaan itu, keong yang menang berhak sepenuhnya memiliki keong-keong malang itu. Selanjutnya, seperti yang sudah kau duga; aku menjualnya dan mendapatkan cukup uang, bahkan lebih banyak dari anggaran normal ibu untuk uang jajanku.
Kabar keberadaan keong milikku tersiar cepat seperti aroma busuk bangkai yang ditutup dan dibawa pergi angin utara dan sampailah pada telinga anak kampung sebelah yang mengajakku berduel. Badannya tinggi dan besar sekali, dua kali lebih besar dari ukuran tubuhku. Juga untuk ukuran keong yang dia bawa sore itu. Warnanya gelap, mungkin abu-abu seperti batu yang biasa digunakan ibu untuk mengganjal pintu rumah. Sesuai kesepakatan: yang menang berhak memiliki keong yang kalah. Dan Si Batu itu kalah. Akil—belakangan kuketahui namanya, dan penggemarnya memanggil ia seperti itu—tidak terima bahwa keongnnya kalah dari keongku. Kukatakan padanya bahwa, “Batu seharusnya memang tidak merangkak!”
Sampai keongku mencapai garis finish dia memang diam saja seperti batu. Aku meledeknya seperti itu supaya ia kesal, dan pikirku, besok ia akan kembali dengan batu-batu lain. Ia memang kesal ternyata dan meraih kerah bajuku—kau tahu, itu di luar rencana—sambil mengangkat tinggi-tinggi keongku dan menghempaskannya ke tanah dan ia pecah.
Aku tak melawan tak juga menangis, saat setelah menyadari bahwa keongku sekarat dan mati. Aku menghampirinya dan berusaha keras memukul wajahnya, tapi aku justru memukul perutnya karena ia tinggi sekali. Setelah ia terjatuh dan menangis. Merasa kurang puas, aku merebut Si Batu itu dari tangan kanannya dan membuktikan seberapa keras antara kepalanya dan batu yang dia bawa. Ia meraung-raung, aku kabur.
Keesokan hari, sepulang sekolah, ibu berpesan, “Ibu tidak suka melihat anaknya jadi jagoan.” Dan menambahkan bahwa hukumanku ditambah menjadi 2 bulan. Kejam sekali.
Tidak. Apapun yang kau yakini, tidak ada ibu yang kejam kepada anaknya meskipun ia berwatak dan berperangai seperti seekor singa. Aku bahkan dihukum tak lebih dari satu minggu. Ibu baik dan atas kebaikannya aku merasa perlu menepati berjanji bahwa aku tidak akan mencuri lagi dan atau berkelahi. Aku tahu malam itu aku melanggar salah satu janji ibu: mencuri. Tapi aku membiarkan diriku sendiri untuk tidak berkelahi dengan warga satu kampung. Ibu tak suka melihat anaknya yang jagoan kalah dihajar warga satu kampung.
Dan kukatakan pada Bumi, bahwa, “Aku pernah mencuri dan telah berjanji tidak akan mencuri lagi pada ibu.”
“Hanya malam ini saja, ayolah! Lagipula ibumu tak ada di sini kan?”
Bumi salah. Aku tidak pernah keliru dengan anggapan bahwa ibu ada di mana-mana. Ia seperti tuhan—dengan huruf ‘t’ kecil. Ia ada ketika aku butuhkan saran, pundak yang kokoh seperti semen padang dan bahkan ada di mana pun ketika aku membutuhkannya. Ibu ada di pikiranmu. Di hatimu dan di hatiku.
Aku diam saja dan tak berusaha mejawab.
“Ayolah... Apa kau takut?”