Mohon tunggu...
Andiva Sumaga
Andiva Sumaga Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hai, nama saya Andiva Qur'aini Sumaga dari Sulawesi Utara. Saya sangat senang menulis puisi, menurut saya puisi bukan hanya sekedar karya sastra, menulis puisi adalah cara saya menemukan kebebasan. Dalam kungkungan moral sosial yang membuat manusia hidup dalam kemunafikan, saya memilih jalan saya sendiri sebab saya percaya, kaum Petualang senantiasa memilih jalan yang lebih sepi dan tak pernah menyongsong fajar di tempat yang sama. Selamat membaca, dalam setiap baitnya saya sisipkan doa semoga setiap nyawa yang singgah mampu merasakannya.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hijau yang Hampa : Kritik atas Dekadensi Gerakan Pecinta Alam di Sulawesi Utara

12 Oktober 2025   00:12 Diperbarui: 12 Oktober 2025   00:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Padahal, keberlanjutan alam tidak hanya ditentukan oleh kepedulian personal, tetapi juga oleh keberanian kolektif untuk menentang struktur kuasa yang menindas ekosistem. Ketiadaan suara politik dari organisasi Pecinta Alam menciptakan kekosongan moral dalam gerakan ekologis Indonesia. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung bumi justru terjebak dalam romantisme kegiatan outdoor, sibuk mengelola ekspedisi dan pendakian, namun abai terhadap dimensi politis dari kerusakan lingkungan.

Makassar, 2023.
Makassar, 2023.

Kritik terhadap Eksklusivitas Gerakan

Kritik yang paling tajam terhadap komunitas Pecinta Alam hari ini bukanlah pada kurangnya aksi sosial mereka, melainkan pada sikap eksklusif yang memisahkan diri dari arus perlawanan rakyat. Masih banyak organisasi yang berpikir bahwa politik bukan wilayah mereka, bahwa urusan mereka hanyalah "cinta alam", bukan mengubah struktur kekuasaan. Pandangan ini keliru sekaligus berbahaya. Alam yang mereka cintai sedang dirusak bukan oleh alam itu sendiri, melainkan oleh keputusan politik yang berpihak pada modal.

Dengan kata lain, ketika eksploitasi alam diatur melalui perizinan tambang, proyek pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat adat, dan reklamasi yang menghancurkan pesisir, maka diamnya KPA adalah bentuk pembiaran terhadap kekuasaan destruktif. Netralitas adalah omong kosong, dalam konteks ini tidak lain adalah keberpihakan yang terselubung.

Sudah saatnya organisasi Pecinta Alam menafsirkan ulang makna "etika pecinta alam". Etika itu tidak cukup hanya mencakup tata krama di hutan atau cara mendaki yang benar, tetapi harus berkembang menjadi etika perlawanan yakni kesadaran politis bahwa merawat alam berarti melawan struktur yang merusaknya. KPA tidak harus menjadi partai politik, tetapi mereka harus memiliki sikap politik seperti berpihak pada kehidupan, pada rakyat, dan pada bumi.

Jika cinta mereka terhadap alam benar adanya, maka cinta itu harus berwujud keberanian untuk bersuara, untuk berdiri di garis perlawanan terhadap setiap bentuk ekosida yang dilegalkan oleh negara dan korporasi. Alam tidak butuh pencinta yang hanya menanam pohon, tetapi pencinta yang juga berani menjaga akarnya dari gergaji kekuasaan. 

"Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, melainkan meminjamnya dari anak cucu kita."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun