Padahal, keberlanjutan alam tidak hanya ditentukan oleh kepedulian personal, tetapi juga oleh keberanian kolektif untuk menentang struktur kuasa yang menindas ekosistem. Ketiadaan suara politik dari organisasi Pecinta Alam menciptakan kekosongan moral dalam gerakan ekologis Indonesia. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung bumi justru terjebak dalam romantisme kegiatan outdoor, sibuk mengelola ekspedisi dan pendakian, namun abai terhadap dimensi politis dari kerusakan lingkungan.
Kritik terhadap Eksklusivitas Gerakan
Kritik yang paling tajam terhadap komunitas Pecinta Alam hari ini bukanlah pada kurangnya aksi sosial mereka, melainkan pada sikap eksklusif yang memisahkan diri dari arus perlawanan rakyat. Masih banyak organisasi yang berpikir bahwa politik bukan wilayah mereka, bahwa urusan mereka hanyalah "cinta alam", bukan mengubah struktur kekuasaan. Pandangan ini keliru sekaligus berbahaya. Alam yang mereka cintai sedang dirusak bukan oleh alam itu sendiri, melainkan oleh keputusan politik yang berpihak pada modal.
Dengan kata lain, ketika eksploitasi alam diatur melalui perizinan tambang, proyek pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat adat, dan reklamasi yang menghancurkan pesisir, maka diamnya KPA adalah bentuk pembiaran terhadap kekuasaan destruktif. Netralitas adalah omong kosong, dalam konteks ini tidak lain adalah keberpihakan yang terselubung.
Sudah saatnya organisasi Pecinta Alam menafsirkan ulang makna "etika pecinta alam". Etika itu tidak cukup hanya mencakup tata krama di hutan atau cara mendaki yang benar, tetapi harus berkembang menjadi etika perlawanan yakni kesadaran politis bahwa merawat alam berarti melawan struktur yang merusaknya. KPA tidak harus menjadi partai politik, tetapi mereka harus memiliki sikap politik seperti berpihak pada kehidupan, pada rakyat, dan pada bumi.
Jika cinta mereka terhadap alam benar adanya, maka cinta itu harus berwujud keberanian untuk bersuara, untuk berdiri di garis perlawanan terhadap setiap bentuk ekosida yang dilegalkan oleh negara dan korporasi. Alam tidak butuh pencinta yang hanya menanam pohon, tetapi pencinta yang juga berani menjaga akarnya dari gergaji kekuasaan.Â
"Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, melainkan meminjamnya dari anak cucu kita."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI