Mohon tunggu...
Andiva Sumaga
Andiva Sumaga Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hai, nama saya Andiva Qur'aini Sumaga dari Sulawesi Utara. Saya sangat senang menulis puisi, menurut saya puisi bukan hanya sekedar karya sastra, menulis puisi adalah cara saya menemukan kebebasan. Dalam kungkungan moral sosial yang membuat manusia hidup dalam kemunafikan, saya memilih jalan saya sendiri sebab saya percaya, kaum Petualang senantiasa memilih jalan yang lebih sepi dan tak pernah menyongsong fajar di tempat yang sama. Selamat membaca, dalam setiap baitnya saya sisipkan doa semoga setiap nyawa yang singgah mampu merasakannya.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hijau yang Hampa : Kritik atas Dekadensi Gerakan Pecinta Alam di Sulawesi Utara

12 Oktober 2025   00:12 Diperbarui: 12 Oktober 2025   00:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Andiva Qur'aini Sumaga
Yogyakarta, 12 Oktober 2025

Gerakan Organisasi Pecinta Alam atau Kelompok Pecinta alam (KPA) di Indonesia tidak lahir dari ruang kosong, dan tentu bukan sekadar ajang hobi mendaki gunung atau menjelajah rimba. Sejak awal kemunculannya pada era 1960--1970 an, khususnya di lingkungan kampus, KPA berdiri di atas fondasi idealisme yang kuat seperti semangat konservasi, solidaritas kemanusiaan, dan tanggung jawab moral terhadap kelestarian bumi. Para perintisnya memaknai "cinta alam" bukan sekadar slogan romantik, melainkan sebagai bentuk kesadaran ekologis dan sosial yang mendorong aksi nyata menjaga kehidupan. Mereka berperan sebagai penjaga nilai-nilai ekologis, menegakkan etika lingkungan, dan membangun kedekatan spiritual antara manusia dan alam.

Namun, seiring waktu, semangat luhur itu perlahan mengalami erosi. Di tengah menjamurnya organisasi pecinta alam di berbagai daerah khusunya di Sulawesi Utara, muncul fenomena yang mengindikasikan pergeseran orientasi. Aktivitas KPA dewasa ini tampak semakin masif secara kuantitas, tetapi kehilangan kedalaman makna secara kualitas. Gerakan yang dahulu menjadi wadah perjuangan dan refleksi ekologis kini lebih sering terjebak dalam rutinitas simbolik. Aktivitasnya kini sekadar mendaki gunung, menjelajah alam liar, atau melakukan penanaman pohon yang bersifat seremonial dan terpisah dari konteks struktural penyebab kerusakan lingkungan.

Fenomena ini menunjukkan adanya keterasingan KPA dari perlawanan struktural. Banyak kelompok pecinta alam tampak abai terhadap dinamika kekuasaan yang sesungguhnya menjadi akar persoalan ekologi. Ketika perusahaan tambang merusak hutan, ketika korporasi mencemari sungai, atau ketika masyarakat adat terusir dari tanah leluhurnya, sebagian besar KPA memilih diam. Padahal, dari sisi moral dan historis, mereka seharusnya menjadi garda depan dalam memperjuangkan keadilan ekologis.

Kesadaran ekologis sejati tidak berhenti pada kekaguman terhadap keindahan alam, melainkan meluas ke pemahaman tentang relasi kuasa yang menindas dan merusak ekosistem. Alam tidak rusak karena alam itu sendiri, tetapi karena adanya sistem ekonomi politik yang menormalisasi eksploitasi. Oleh sebab itu, tanggung jawab pecinta alam mestinya melampaui batas kegiatan rekreatif menuju kesadaran kritis untuk melawan sumber-sumber perusakan yang sistematis.

Kondisi inilah yang dapat disebut sebagai "hijau yang hampa" di mana gerakan yang tetap mengenakan simbol konservasi dan jargon cinta alam, tetapi kehilangan keberpihakan terhadap isu-isu keadilan lingkungan. Warna hijau yang dulu menjadi lambang perjuangan kini berubah menjadi identitas tanpa isi yakni hijau di permukaan, tetapi kosong di dalam.

Sudah saatnya KPA melakukan refleksi kolektif: apakah mereka akan terus menjadi penonton pasif di tengah krisis ekologis, atau kembali ke akar idealismenya sebagai agen perubahan? Menjadi pecinta alam tidak cukup dengan menapaki puncak gunung atau menanam seribu bibit pohon. Pecinta alam sejati adalah mereka yang berani menapaki jalan terjal perlawanan melawan sistem yang merusak bumi dan memperjuangkan kehidupan di dalamnya.

Menggugat Keabsenan Politik: Dari Etika Survival Menuju Etika Perlawanan

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan organisasi dan komunitas Pecinta Alam (KPA) masih memiliki peran penting di tengah krisis lingkungan yang semakin kompleks. KPA bukan sekadar wadah bagi para pencinta kegiatan alam bebas, tetapi juga ruang pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai etika ekologis, tanggung jawab sosial, dan kemampuan bertahan di alam. Dari pelatihan mountaineering, navigasi, hingga aksi kemanusiaan dan tanggap bencana, KPA telah menorehkan kontribusi nyata dalam membangun karakter generasi yang peduli lingkungan dan sesama manusia. Dalam banyak hal, mereka adalah representasi etika "survival" kemampuan bertahan hidup yang berpadu dengan rasa hormat terhadap alam.

Namun di balik peran positif tersebut, tersimpan satu ironi mendasar yakni sebagian besar organisasi Pecinta Alam tampak kehilangan arah dalam membaca konteks politik yang mengitari krisis ekologi. Mereka memang mahir bertahan di gunung, tapi sering kali gagap ketika harus bertahan di tengah sistem yang menghancurkan gunung itu sendiri. Kegiatan konservasi teknis dan kemanusiaan berjalan dengan baik, tetapi keterlibatan mereka dalam perjuangan struktural melawan kebijakan eksploitatif, oligarki tambang, atau korporasi perusak lingkungan hampir tak terdengar.

Padahal, keberlanjutan alam tidak hanya ditentukan oleh kepedulian personal, tetapi juga oleh keberanian kolektif untuk menentang struktur kuasa yang menindas ekosistem. Ketiadaan suara politik dari organisasi Pecinta Alam menciptakan kekosongan moral dalam gerakan ekologis Indonesia. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung bumi justru terjebak dalam romantisme kegiatan outdoor, sibuk mengelola ekspedisi dan pendakian, namun abai terhadap dimensi politis dari kerusakan lingkungan.

Makassar, 2023.
Makassar, 2023.

Kritik terhadap Eksklusivitas Gerakan

Kritik yang paling tajam terhadap komunitas Pecinta Alam hari ini bukanlah pada kurangnya aksi sosial mereka, melainkan pada sikap eksklusif yang memisahkan diri dari arus perlawanan rakyat. Masih banyak organisasi yang berpikir bahwa politik bukan wilayah mereka, bahwa urusan mereka hanyalah "cinta alam", bukan mengubah struktur kekuasaan. Pandangan ini keliru sekaligus berbahaya. Alam yang mereka cintai sedang dirusak bukan oleh alam itu sendiri, melainkan oleh keputusan politik yang berpihak pada modal.

Dengan kata lain, ketika eksploitasi alam diatur melalui perizinan tambang, proyek pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat adat, dan reklamasi yang menghancurkan pesisir, maka diamnya KPA adalah bentuk pembiaran terhadap kekuasaan destruktif. Netralitas adalah omong kosong, dalam konteks ini tidak lain adalah keberpihakan yang terselubung.

Sudah saatnya organisasi Pecinta Alam menafsirkan ulang makna "etika pecinta alam". Etika itu tidak cukup hanya mencakup tata krama di hutan atau cara mendaki yang benar, tetapi harus berkembang menjadi etika perlawanan yakni kesadaran politis bahwa merawat alam berarti melawan struktur yang merusaknya. KPA tidak harus menjadi partai politik, tetapi mereka harus memiliki sikap politik seperti berpihak pada kehidupan, pada rakyat, dan pada bumi.

Jika cinta mereka terhadap alam benar adanya, maka cinta itu harus berwujud keberanian untuk bersuara, untuk berdiri di garis perlawanan terhadap setiap bentuk ekosida yang dilegalkan oleh negara dan korporasi. Alam tidak butuh pencinta yang hanya menanam pohon, tetapi pencinta yang juga berani menjaga akarnya dari gergaji kekuasaan. 

"Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, melainkan meminjamnya dari anak cucu kita."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun