Di tengah hiruk pikuk kehidupan dewasa, di mana tuntutan kerja dan produktivitas seolah menjadikan kita robot yang dipaksa terus beroperasi, kita menyaksikan fenomena yang lebih dalam: keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Walaupun Alexithymia belum tergolong sebagai diagnosis gangguan jiwa formal, kesulitan emosional yang mendasarinya tidak bisa disepelekan.
Bagi orang dewasa, terutama yang hidup dalam tekanan sosial dan profesional yang tinggi, alexithymia dapat hadir secara halus menyamar sebagai "kekokohan emosi" atau "kedewasaan." Mereka terbiasa menekan emosi demi produktivitas, menganggap kesedihan sebagai kelemahan, dan memilih diam daripada berbicara tentang perasaan. Akibatnya, kehidupan emosional menjadi datar dan jarak dengan diri sendiri semakin melebar.
Masalah ini diperburuk oleh pola pikir masyarakat dan budaya yang turut memperpanjang persoalan. Orang dewasa sering kali dilarang menunjukkan perasaannya secara bebas, menciptakan ruang ketidakadilan gender yang kentara: laki-laki dilarang mengekspresikan kesedihan karena dianggap menjatuhkan harga diri, sementara perempuan dicap berlebihan atas ekspresi emosinya.
Konsekuensinya terasa nyata, terutama dalam hubungan interpersonal. Alexithymia dapat menimbulkan kesalahpahaman yang menyakitkan di mana seseorang mungkin tampak dingin atau tidak peduli, padahal sebenarnya ia hanya tidak tahu bagaimana mengekspresikan empati atau kasih sayang. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat relasi kehilangan kehangatan, bahkan menimbulkan rasa keterasingan dalam diri sendiri.
Dampak terbesar Alexithymia dalam kehidupan dewasa adalah kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Hidup dijalani dalam mode otomatis: bekerja, berfungsi, memenuhi kewajiban, tetapi tanpa kedalaman rasa. Dunia luar tampak teratur, sementara dunia dalam membeku. Kehidupan menjadi seperti naskah yang dijalankan tanpa emosi, sekadar "hidup dengan baik" tanpa benar-benar merasa hidup.
Menyadari dampak Alexithymia bukan berarti menghakimi, melainkan membuka kesadaran bahwa emosi adalah bagian penting dari keberfungsian manusia dewasa. Melalui artikel ini, penulis mengajak setiap pembaca untuk mulai mengakui dan menerima segala bentuk emosi yang hadir. Emosi jauh lebih beragam dari sekadar amarah atau kegembiraan. Tugas kita adalah menyadari bahwa setiap individu memiliki cara yang berbeda untuk mengekspresikan perasaannya, dan kita harus menerima serta menghormati itu semua. Kemampuan untuk merasakan dan menamai emosi adalah jembatan antara pikiran, tubuh, dan relasi sosial. Ketika seseorang belajar memahami emosinya, ia tidak hanya menjadi lebih sehat secara psikologis, tetapi juga lebih manusiawi mampu mencintai, memahami, dan hadir secara utuh, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Jangan pernah menyepelekan perasaanmu, sekecil apa pun itu, sebab ia adalah esensi dari dirimu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI