Pendidikan selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan karena membicarakan hal yang sangat penting dalam membentuk arah perubahan sosial. Dalam konteks kehidupan masyarakat, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, tetapi juga menjadi kekuatan utama yang mendorong terjadinya perubahan itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan merupakan arena dinamis di mana nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi saling berinteraksi dan membentuk realitas sosial baru.
Salah satu isu yang mengemuka dalam dunia pendidikan saat ini adalah komersialisasi pendidikan , terutama di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi kini tidak hanya dipandang sebagai lembaga akademik yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga sebagai institusi yang beroperasi dengan logika ekonomi dan persaingan pasar. Secara umum, kondisi ini melahirkan dua wajah perguruan tinggi di Indonesia. Pertama, perguruan tinggi dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi, disertai dengan kualitas program, sarana, dan prasarana yang baik, namun bersifat eksklusif karena hanya dapat dijangkau oleh kalangan masyarakat yang berada di ketinggian. Kedua, perguruan tinggi yang justru menitikberatkan pada penarikan biaya pendidikan tanpa diimbangi dengan peningkatan mutu pembelajaran, dengan kondisi fasilitas yang terbatas bahkan tidak layak. Kedua bentuk tersebut sama-sama mencerminkan pergeseran orientasi pendidikan dari nilai idealnya sebagai alat pemberdayaan menuju logika komersial yang berorientasi pada keuntungan.Â
Penyebab kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor politik, budaya, ekonomi, sosial, dan teknologi. Kompleksitas faktor-faktor ini menimbulkan dampak serius bagi kelompok masyarakat kelas bawah, yang hingga kini masih mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan di Perguruan tinggi. Bagi sebagian besar dari mereka, mimpi untuk duduk di bangku perguruan tinggi pun menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan, mengingat tingginya biaya pendidikan yang tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Perguruan tinggi kemudian tidak lagi menjadi ruang inklusif bagi semua lapisan masyarakat, melainkan menjadi simbol eksklusivitas ekonomi yang membedakan antara mereka yang "mampu" dan yang "tidak mampu."Â
Dari sisi akademik, komersialisasi pendidikan juga berdampak pada perubahan orientasi institusi perguruan tinggi. Fokus utama yang seharusnya ditetapkan pada pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sering kali beralih menuju upaya pencarian sumber asal. Dalam situasi seperti ini, keputusan akademik sering dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi, seperti pembukaan program studi yang dianggap "menguntungkan secara pasar" atau penyesuaian kurikulum yang berfokus pada kebutuhan industri semata. Akibatnya, nilai-nilai ideal pendidikan tinggi seperti kebebasan akademik, integritas ilmiah, dan tanggung jawab sosial risiko tereduksi oleh logika komersial.
Pasal  31  ayat  (1)  UUD  NRI  1945  menegaskan,  "Tiap-tiap  warga  negara berhak  mendapatkan  pengajaran"'Ayat  (2),  "Setiap warga  negara  wajib  mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," dan ayat (3), "Pemerintah mengusahakan  dan  menyelenggarakan  satu  sistem  pengajaran  nasional,  yang meningkatkan  keimanan  dan  ketakwaan serta  akhlak  mulia  dalam  rangka mencerdaskan  kehidupan  bangsa,  yang  diatur  dengan  undang-undang." Hal tersebut secara tegas menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang status ekonomi. Namun demikian, implementasi prinsip tersebut masih jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam ketentuan perundang-undangan. Apabila ketentuan tersebut ditafsirkan secara substansial, maka dapat dimaknai bahwa negara memegang tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan nasional guna mewujudkan pemerataan akses dan keadilan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Nurtanio Agus Purwanto dalam tulisannya "Pengaruh Politik dalam Bidang Pendidikan", komersialisasi pendidikan tidak terlepas dari pengaruh ideologi politik yang memandang pendidikan sebagai sektor yang dapat dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. Pandangan ideologis tersebut memberi ruang bagi lembaga pendidikan untuk beroperasi layaknya perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Akibatnya, lembaga-lembaga pendidikan terdorong untuk menaikkan biaya pendidikan serta memperlakukan pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana logika pasar telah menembus dinding Perguruan Tinggi, mengubah ruang intelektual menjadi ruang transaksi. Perguruan Tinggi kini tak lagi semata-mata mencetak insan berpengetahuan, melainkan juga memproduksi nilai ekonomi: gelar, prestise, dan jaringan sosial yang bisa dipertukarkan dengan uang. Dalam pusaran ini, idealisme akademik perlahan tereduksi, dan perguruan tinggi kehilangan ruhnya sebagai penjaga nalar kritis dan agen perubahan sosial.
Pada akhirnya, ketika Perguruan Tinggi lebih tunduk pada mekanisme pasar ketimbang panggilan moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kita patut bertanya: apakah Perguruan Tinggi masih menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, atau telah menjelma menjadi korporasi dengan balutan idealisme semu? Sudah saatnya negara menegaskan kembali mandat konstitusionalnya, bahwa pendidikan bukan ladang bisnis, melainkan hak setiap warga negara ,ruang pembebasan dan bukan arena komersialisasi.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI