Kopi adalah salah satu minuman sejuta umat, banyak sekali yang menggemarinya.  Aktivitas minum kopi punya fungsi sosial bahkan menjadi gaya hidup, baik orang tua sampai  anak muda zaman now. Banyak cerita dan cara dilakukan manusia untuk meracik dan menikmati kopi agar dapat teresapi secara sempurna. Bagi para penikmat kopi, mereka biasanya akan asyik bicara tentang kenikmatannya, jenisnya, komposisinya maupun cara meraciknya. Sangat sedikit yang membahas proses dan darimana kopi itu didapatkan sampai terhidang di cangkir kita.
Tahukah kita, bahwa kopi dan hutan adalah budaya sebagian masyarakat di negeri ini, termasuk di Toraja. Bagi mereka, menanam kopi dihutan adalah sebuah budaya sekaligus upaya mempertahankan kehidupan ekonomi. Di Wilayah Toraja, masyarakat didalam dan sekitar hutan secara turun temurun bercocok tanam kopi namun juga mengembangkan tanaman lainnya selama itu tidak menggangu ekosistem sehingga menghasilkan hubungan yang harmonis dengan alam.
Indonesia kita yang tercinta memiliki banyak jenis kopi yang tersebar di seluruh nusantara, dimana salah satunya adalah di Toraja. Kopi toraja adalah kopi yang memiliki  kandungan asam yang rendah. Masyarakat Kecamatan Nanggala Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan adalah penghasil kopi yang berkualitas.Â
Kopi yang dihasilkan dengan proses-proses yang alami tentunya juga menghasilkan kopi yang lebih unggul. Bertahun-tahun budaya menanam kopi mereka lakukan tanpa memikirkan legalitas lahan tempat mereka menanam. Selain proses yang organik dapat menghasilkan kopi yang berkualitas, proses yang mereka lakukan juga dengan cara organik sehingga ikut berkontribusi menyelamatkan lingkungan.
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan di Kecamatan Nanggala merupakan masyarakat yang tergolong miskin. Perhutanan sosial merupakan program pemerintah sebagai harapan mereka dalam rangka melibatkan masyarakat secara legal dalam pengelolaan kawasan hutan secara lestari.
Perhutanan sosial mengakomodasi kepentingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai pelaku utama untuk memperoleh manfaat sebesar-sebesarnya dari hutan berdasarkan kaidah-kaidah konservasi (PermenLHK No. 83 Tahun 2016). Kesempatan ini tidak disia-siakan masyarakat Kabupaten Tana Toraja Utara untuk berpartisipasi didalamnya.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Toraja Utara ditetapkan melalui SK. Menteri Kehutanan No. SK.628/Menhut-II/2010 seluas seluas 4.380 ha yang berada pada kawasan hutan lindung dengan nama HKm Nanggala. SK ini dilatarbelakangi SK Bupati Toraja Utara Nomor 314/IX/2014. Pemberian izin IUPHKm diberikan pada tahun 2014 dalam jangka waktu 35 tahun (pengajuan IUPHKm sebelum tahun 2010).
Pemberian IUPHKm ini berawal dari kegiatan fasilitasi yang diberikan oleh LSM Walda (Inggris) pada tahun 1983, yaitu berupa kegiatan hortikultura yang dalam pelaksanaannya menerapkan aturan bahwa jika menebang 1 pohon  maka sebagai gantinya masyarakat harus menanam 50 pohon.Â
Selanjutnya Kementerian Kehutanan memfasilitasi kelompok HKm ini dengan konsep perhutanan sosial. Kegiatan pembinaan terhadap kelompok HKm pernah dilakukan oleh kedua pihak (LSM dan Kemenhut) agar masyarakat benar-benar dapat merasakan manfaat dengan terbentuknya HKm, yang sebelumnya hanya dimanfaatkan secara pribadi namun saat ini komoditas usaha HKm (Kopi) telah dijual ke perusahaan produksi kopi sekitar daerah setempat (PT Toarco Jaya).
HKm Nanggala dikelola secara aturan adat. Kelembagaan masyarakat adat ini mempunyai tugas dan tanggungjawab yaitu : 1) Mengawasi kelompok tani pengelola dalam pemanfaatan HKm agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 2) Mendampingi kelompok pengelola HKm dalam penyusunan rencana kerja pemanfaatan hasil hutan dan mengawasi mekanisme kerja kelompok dalam wilayahnya.Â
Kelompok HKm juga memiliki kewajiban-kewajiban yang sudah tertuang dalam SK IUPHKm diantaranya : 1) Tidak boleh menelantarkan hutan dan lahan sesuai IUPHKm; 2) Pemilihan jenis tanaman dalma pengelolaan hutan harus disesuaikan dengan fungsi hutan yaitu dengan menanam tanaman serbaguna (multi purpose trees species) yang berumur panjang; 3) Anggota kelompok diprioritaskan masyarakat setempat yang telah menjadi anggota; 4) Dilarang membuat bangunan fisik; serta 5) IUPHKm yang berikan bukan merupakan pemberian hak kepemilikan atas lahan.
Pengaturan secara adat di Kabupaten Tana Toraja Utara untuk Perhutanan Sosial diharapkan mampu menekan laju deforestasi tanpa mengesampingkan aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan kebudayaan masyarakat disekitarnya. Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu skema yang dibangun negara sebagai salah satu skema perhutanan sosial untuk pemberdayaan masyarakat sekaligus melestarikan hutan. Secara resmi, lahan ini milik pemerintah, namun pengelolaan oleh masyarakat diharapkan membuatnya lebih baik dan berkelanjutan.Â
Saat ini, kelompok Hkm mengharapkan dukungan dari pusat baik terkait alat produksi maupun peningkatan kapasitas anggota kelompok antara lain: 1) Unit alat pengupas biji; 2) Unit alat produksi (kupas hingga produksi); 3) Pemberian bibit; 4) Pembinaan terkait pengelolaan, dan 5) Pemasaran hasil komoditas yang lebih menguntungkan kelompok tani.Â
Oleh karena itu, perlu dilakukan pembinaan berupa fasilitasi kelompok agar berbadan hukum untuk kelancaran pengajuan bantuan/pemberian bantuan. Penyuluh/pendamping sebaiknya juga memfasilitasi kelompok HKm berupa pelatihan budidaya bibit dan diversifikasi komoditas untuk kemandirian masyarakat. Selain itu, pusat juga perlu memberikan dukungan berupa pembinaan kepada penyuluh/pendamping terkait pengelolaan HKm.
Mengusir perambah hutan, seperti masa lalu, bukan solusi yang baik. Perhutanan sosial muncul menjadi pilihan bagaimana mengintegrasikan penduduk lokal dalam bentang alam sekelilingnya bisa memberi hasil lebih baik dibanding mengeluarkannya. Salah satu pelajaran kunci yang dipetik dari sisi masyarakat Tana Toraja Utara adalah meski memiliki kapabilitas lokal, tetap diperlukan dukungan pihak luar. Keberhasilan bertumbuh ketika pemerintah dan penduduk desa bekerja sama, bukan ketika mereka saling berhadapan ***(ASP, 2020)