Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Kembali Menjadi Simbol Kegagalan Moral dalam Dunia Olahraga

13 Oktober 2025   19:13 Diperbarui: 13 Oktober 2025   19:13 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pada Debat Umum Sidang Umum PBB ke-80 di New York, Amerika Serikat (ANTARA/Fathur Rochman)

Pemerintah baru-baru ini secara resmi mengumumkan bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk tidak menerbitkan visa bagi atlet Israel yang hendak berpartisipasi dalam Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 yang akan dilaksanakan di Jakarta pada 19-25 Oktober 2025. Keputusan ini pun turut didukung oleh Erick Thohir selaku Menteri Pemuda dan Olahraga RI. Akan tetapi, hal bukan hanya pelanggaran terhadap semangat sportivitas, tetapi juga pengkhianatan terhadap prinsip non-diskriminasi yang menjadi fondasi Gerakan Olimpiade. Ironisnya, langkah ini dilakukan justru ketika Israel dan Palestina sedang menjalani pembicaraan damai bersejarah - -suatu proses rekonsiliasi yang dimungkinkan berkat kepemimpinan tegas dan diplomasi realistis Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang berhasil membuka jalan bagi normalisasi dan stabilitas regional. Sementara dunia mulai menata perdamaian, Indonesia justru melangkah mundur, memperalat olahraga untuk agenda politik yang sempit dan emosional. Dan yang paling memalukan, figur yang seharusnya menjaga martabat bangsa di mata dunia dalam aspek olahraga – Erick Thohir – menjadi simbol dari kemerosotan moral dan intelektual itu sendiri.

Dari Kesalahan Moral ke Bencana Institusional

Tidak ada pembenaran yang dapat menutupi fakta bahwa Indonesia kini telah mencoreng dirinya sendiri di panggung internasional. Larangan terhadap atlet Israel bukanlah “kebijakan diplomatik,” melainkan pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam Olimpiade dan asas dasar federasi olahraga global termasuk Federasi Senam Internasional (FIG). Israel pun telah memutuskan untuk melayangkan gugatan terhadap Indonesia kepada Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) atas keputusan tersebut. CAS sendiri selaku lembaga arbitrase tertinggi dalam dunia olahraga memang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan provisional measures – langkah cepat yang bisa memaksa FIG mengambil tindakan, mulai dari menunda kompetisi, memindahkan lokasi, hingga menangguhkan hak penyelenggaraan Indonesia. Dan sejarah menunjukkan, CAS tidak segan menegakkan keadilan atas nama sportivitas, bahkan ketika itu berarti mempermalukan negara besar.

Preseden yang ada pun sangat jelas, FIFA tercatat mencabut hak tuan rumah Indonesia untuk Piala Dunia U20 2023 karena alasan serupa – penolakan politik terhadap Israel. Komite Olimpiade Internasional (IOC) juga punya sejarah panjang menjatuhkan suspensi kepada negara yang mencampuradukkan politik dengan olahraga, termasuk terhadap Indonesia sendiri pada 1960-an karena menolak partisipasi Israel pada Asian Games 1962 di Jakarta. Maka, bukan tidak mungkin bahwa langkah serupa akan terulang. Jika Erick Thohir dan pemerintah Indonesia terus menolak prinsip netralitas olahraga, suspensi terhadap Komite Olimpiade Indonesia (KOI) akan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Dunia tidak akan melihat Indonesia sebagai negara berdaulat yang menegakkan prinsip, melainkan pelanggar etika global yang tidak sanggup membedakan antara panggung olahraga dan mimbar politik.

Alasan Indonesia menolak memberikan visa kepada atlet Israel – karena tidak memiliki hubungan diplomatik – juga adalah dalih paling konyol yang pernah diucapkan oleh negara besar. Argumen kekanak-kanakan ini runtuh di hadapan begitu banyak preseden global: puluhan negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik tetap bersaing secara sportif dan bermartabat di berbagai ajang internasional. Palestina, misalnya, berparade dan berkompetisi pada Olimpiade London 2012 dan Tokyo 2020 sekalipun tuan rumah, Inggris dan Jepang, masing-masing tidak mengakui eksistensi negara tersebut. Korea Utara, yang tidak diakui secara diplomatik oleh Jepang, tetap diizinkan bertanding pada Olimpiade Tokyo 2020 dan baru-baru Kejuaraan Dunia Atletik 2025 di kota yang sama. Namun Indonesia, dengan segala klaimnya sebagai bangsa besar, justru berpura-pura seolah pemberian visa merupakan pengkhianatan, bukan kewajaran dalam dunia olahraga. Ini bukan sikap berprinsip, tetapi kemalasan diplomatik yang dibungkus seolah keberanian moral.

Erick Thohir: Konflik Kepentingan dan Kejatuhan Etik

Sebagai anggota IOC, Erick Thohir seharusnya menjadi penjaga moral dari prinsip Olimpiade, bukan pelanggarnya. Namun, ia memilih diam – atau lebih tepatnya, ikut mengafirmasi keputusan diskriminatif terhadap atlet Israel – padahal ia tahu tindakan itu secara langsung melanggar Kode Etik IOC yang melarang setiap perbuatan yang “merusak kepentingan Gerakan Olimpiade.” Dalam kapasitas ganda sebagai menteri dan anggota IOC, Erick Thohir memang terjebak dalam konflik kepentingan paling telanjang: bagaimana mungkin seseorang yang duduk di lembaga global yang menjunjung inklusivitas justru mendukung kebijakan yang menolak partisipasi berdasarkan kewarganegaraan? Ini bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai yang ia sendiri sumpah untuk jaga.

IOC telah menindak tegas anggotanya yang melanggar prinsip etika--mulai dari Carlos Nuzman hingga sejumlah tokoh Asia, Eropa, dan Afrika. Bila Erick Thohir diselidiki dan suspensi, itu bukan sekadar hukuman personal, tetapi sinyal bagi dunia bahwa Gerakan Olimpiade tidak tunduk pada politik domestik. Ironisnya, Erick Thohir memilih popularitas nasional yang murahan ketimbang kredibilitas internasional yang abadi. Ia menukar reputasi Indonesia yang telah dibangun bertahun-tahun dengan tepuk tangan sesaat dari massa yang tak mengerti apa-apa. Di era ketika dunia justru bergerak menuju rekonsiliasi dan keterbukaan – -dipelopori oleh diplomasi damai yang dimotori Amerika Serikat – Indonesia justru menulis ulang dirinya sebagai negara yang tersesat dalam kemunafikan moral. Sebab yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini bukanlah bentuk keberanian moral, melainkan manifestasi ketakutan politik yang dibungkus dengan jargon nasionalisme kosong. Dan sejarah pasti akan mencatat: ketika dunia sedang menuju perdamaian, Indonesia justru memilih menjadi negara yang berdiri di sisi kebencian – didukung oleh seorang pejabat yang gagal memahami arti sejati dari Gerakan Olimpiade itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun