Asap putih yang mengepul dari cerobong Kapel Sistina pada tanggal 8 Mei 2025 membawa pesan bersejarah: Gereja Katolik memiliki pemimpin baru, Paus Leo XIV.Â
Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost, seorang Agustinian berusia 69 tahun dari Chicago, Illinois, sebagai penerus ke-267 Santo Petrus, tidak hanya menandai babak baru bagi komunitas Katolik global tetapi juga momen mengharukan karena ia menjadi paus pertama dari Amerika Serikat (AS).
Kenaikannya yang cepat, dari Kardinal-Uskup Albano pada Februari 2025 menjadi paus hanya beberapa bulan kemudian, menggarisbawahi periode dinamis bagi Gereja.
Saat dunia memandang ke Roma, pemilihan Paus baru di dalam tembok suci Kapel Sistina yang menjadi tempat tradisional konklaf kepausan sejak 1492, dengan keputusan yang diumumkan oleh asap putih sejak 1914, tentu memicu rasa antisipasi yang lazim.
Putra AS yang Menjadi Gembala Dunia Bernama Leo
Nama yang dipilih seorang paus baru tidak pernah sembarangan. Itu adalah pernyataan niat, gaung yang dipancarkan untuk menandakan nuansa sebuah pontifikat.Â
Dengan memilih "Leo," Paus yang baru merangkul nama yang kaya akan bobot sejarah. Berasal dari bahasa Latin leo, yang berarti "singa", nama tersebut membangkitkan gambaran kekuatan, keberanian, dan suara yang berbicara dengan jelas dan penuh keyakinan.Â
Ini juga merupakan nama yang secara historis dikaitkan dengan individu-individu berkarakter tangguh dan berketetapan hati yang tak tergoyahkan. Tiga belas paus sebelumnya telah menyandang nama ini, beberapa di antaranya meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada Gereja dan bahkan dunia.Â
Paus Leo I (440-461), yang dihormati sebagai "Agung" dan seorang Pujangga Gereja, menavigasi perairan bergolak setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dengan ketabahan luar biasa. Kontribusi teologisnya, terutama Tome-nya yang mengartikulasikan sifat ganda Kristus, dipuji di Konsili Kalsedon sebagai "suara Petrus".Â
Di luar pengaruh doktrinalnya, Leo I dikenang karena diplomasinya yang tak kenal takut, yang terkenal saat bertemu Attila sang Hun pada tahun 452 dan membujuknya untuk menyelamatkan Roma dari kehancuran. Pontifikatnya menjadi suatu pelajaran utama dalam menegaskan keutamaan paus dan menjaga ortodoksi di era krisis yang mendalam.Â
Berabad-abad kemudian, Paus Leo XIII (1878-1903) membawa "semangat baru" ke dalam kepausan. Ensikliknya yang monumental tahun 1891, "Rerum Novarum" (Hal-Hal Baru), dengan berani membahas penderitaan kelas pekerja di era industri, meletakkan landasan bagi ajaran sosial Katolik modern. Ia memupuk pendekatan yang lebih mendamaikan terhadap pemerintah sipil, menunjukkan keterbukaan terhadap kemajuan ilmiah, dan memperjuangkan kebangkitan intelektual yang berpusat pada filsafat Santo Thomas Aquinas.