Mohon tunggu...
Andi Ronaldo Marbun
Andi Ronaldo Marbun Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Industri Penerbangan Indonesia: Terbang Tinggi atau Terjun Bebas?

29 Maret 2024   13:56 Diperbarui: 30 Maret 2024   11:34 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Dok Humas AP II PT Angkasa Pura II via Kompas.com)

Indonesia, dengan wilayah yang terbentang luas yang luas dan kondisi geografis berbentuk kepulauan, seharusnya menjadi negara dengan industri penerbangan yang melambung tinggi. Akan tetapi, terlepas dari peran penting industri ini dalam mendukung konektivitas dan pembangunan ekonomi, sektor penerbangan Indonesia seakan sulit lepas landas untuk meneruskan pertumbuhan positif yang cukup masif pada akhir dekade 2000an hingg awal dekade 2010an. Meskipun kemajuan telah banyak dicapai, tantangan yang mengakar menghalangi kemampuan Indonesia untuk naik ke level yang sama dengan negara-negara besar lainnya di kawasan Asia Pasifik.

Kekhawatiran Keamanan: Membayangi Reputasi

Sejarah yang dinodai oleh kecelakaan pesawat tragis mencoreng reputasi penerbangan Indonesia sejak lama. Konsekuensi terburuk terlihat pada pelarangan total Uni Eropa terhadap beberapa maskapai Indonesia antara tahun 2007 hingga 2018. Meski larangan ini telah dicabut, kekhawatiran masih terus berlanjut. Data dari Aviation Safety Network menunjukkan bahwa dalam satu dekade antara tahun 2010 dan 2020, tingkat kecelakaan Indonesia 25% lebih tinggi dibanding rata-rata dunia.

Tren yang mengkhawatirkan ini menyoroti masalah mendasar yang harus diatasi, antara lain sebagai berikut.

  1. Realitas ekonomi membuat beberapa maskapai Indonesia bergantung pada armada pesawat yang lebih tua. Pesawat yang menua membawa kebutuhan perawatan yang lebih besar dan meningkatkan potensi bahaya keselamatan. Menurut KataData Media Network, pesawat yang kini beroperasi di Indonesia rata-rata berusia 10 tahun, dibandingkan Vietnam yang hanya 5,8 tahun, Singapura 7,7 tahun, Malaysia 8,6 tahun, Filipina 9,4, dan Thailand 9,7 tahun.

  2. Ekspansi pesat industri penerbangan Indonesia melampaui pasokan pilot yang terlatih. Untuk memenuhi permintaan, beberapa maskapai terpaksa mempekerjakan orang-orang dengan tingkat pengalaman yang patut dipertanyakan.

  3. Kekhawatiran juga muncul terkait dengan mekanisme penegakan hukum dalam memprioritaskan budaya keselamatan pada semua level penerbangan. Menurut ICAO Safety Report, Indonesia hanya menempati peringkat 55, dengan Singapura, Persatuan Emirat Arab, dan Korea Selatan menempati peringkat 1 hingga 3 berturut-turut. Lebih lanjut, Indonesia hanya memilki skor 71.43% pada aspek legislasi pada  ICAO's Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP), jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (100%), Filipina (100%), Thailand (90%), Vietnam (85%), dan Malaysia (80.95%).

  4. Geografi Indonesia yang unik, dengan landasan udara terpencil dan infrastruktur yang kurang berkembang di wilayah tertentu, menciptakan kompleksitas keselamatan lebih lanjut untuk operasi penerbangan. Hingga saat ini, hanya terdapat empat maskapai Indonesia (Garuda Indonesia, Lion Air, Batik Air, dan Wings Air) yang telah melakukan IATA Operational Safety Audit (IOSA) yang telah menjadi benchmark penting dalam manajemen keselamatan maskapai penerbangan global.

Hambatan Infrastruktur: Menghambat Pertumbuhan

Seiring dengan masalah keamanan, Indonesia bergulat dengan infrastruktur penerbangan yang sangat terbatas. Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sebagai pusat tersibuk di Indonesia, telah mengalami kelebihan kapasitas yang cukup konsisten meskipun telah banyak proyek pembangunan terminal baru atau revitalisasi terminal lama. Bandara tersebut dirancang untuk menangani 62 juta penumpang per tahun, tetapi telah melayani lebih dari 67 juta penumpang pada tahun 2023. Bandara regional juga masih tetap terbelakang di banyak daerah, dengan landasan pacu yang tidak memadai untuk menangani peningkatan lalu lintas atau pesawat yang lebih besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun