Setiap pagi, jam alarm berbunyi tepat pukul 6.00. Mandi cepat, sarapan terburu-buru, lalu terjebak macet dalam perjalanan ke kantor. Delapan jam bekerja di depan komputer, ditambah lembur tak dibayar, hanya untuk pulang dengan tubuh lelah dan pikiran kosong. Di rumah, waktu habis untuk bersih-bersih dan scroll media sosial sebelum tidur dan esoknya, siklus itu terulang lagi. Inilah realitas kehidupan di bawah kapitalisme modern: sebuah sistem yang mengubah waktu menjadi komoditas, tubuh menjadi mesin. Kapitalisme industri tidak hanya mengatur urusan pabrik dan penjualan aja, tapi juga masuk ke waktu hidup kita. Jam kerja yang dulunya "9-to-5" sudah nggak relevan, sekarang kita dituntut selalu siap 24/7: email tengah malam yang harus dibales, deadline yang harus dikejar, dan budaya hustle culture malah dianggap sebagai standar kerja yang keren.
Akibat dari masuknya logika kapitalisme ke semua aspek kehidupan, kita perlahan kehilangan makna dari kerja itu sendiri. Dalam pandangan Marx, seharusnya manusia bisa menemukan identitas dan kebanggaan dalam apa yang mereka hasilkan. Namun sekarang, kerja hanya jadi alat untuk bertahan hidup. Seorang desainer grafis, misalnya, nggak lagi fokus pada nilai estetika karyanya, tapi lebih peduli seberapa banyak aset yang bisa diselesaikan dalam sehari. Waktu luang pun berubah jadi kemewahan, aktivitas seperti membaca buku, berkebun, atau sekadar duduk santai di teras justru kita anggap "nggak produktif" karena tidak menghasilkan uang, padahal hal-hal itulah yang bikin kita merasa hidup sebagai manusia. Sayangnya, tubuh dan pikiran sering kali jadi korban. Burnout, insomnia, sampai gangguan kecemasan makin umum di kalangan pekerja muda. Kita sakit, tapi tetap dipaksa terus lari dalam roda kapitalisme.
Mengapa Kita Tidak Bisa Keluar dari Siklus Ini?
Relasi kelas adalah akar dari ketimpangan yang kita alami hari ini. Dalam sistem kapitalisme, pemilik modal atau borjuis menguasai alat produksi, sementara kelas pekerja atau proletar hanya bisa menjual tenaga mereka demi bertahan hidup. Ketimpangan ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari: gaji yang diterima pekerja sering kali hanya cukup untuk menutup kebutuhan dasar, hidup dari bulan ke bulan tanpa ruang untuk menabung. Di sisi lain, para pemegang saham dan pemilik perusahaan menikmati keuntungan berlipat dari kerja keras yang tidak mereka lakukan. Ketika terjadi krisis atau PHK massal, pekerjalah yang paling terdampak, bukan para pemodal. Karena itu, banyak orang tetap bertahan di pekerjaan yang menggerus tubuh dan mental, bukan karena mencintainya, tapi karena takut tak bisa bayar sewa atau membiayai pendidikan anak.
Namun, kapitalisme hari ini jauh lebih halus dan licik dibandingkan zaman Marx. Ia tidak hanya mengeksploitasi secara ekonomi, tapi juga masuk ke kesadaran kita. Budaya hustle seringkali dipuja sebagai simbol kerja keras dan kesuksesan. Konsumerisme dijadikan alat untuk membuat kita terus merasa kurang, terus membeli demi kebahagian, kepuasan, bahkan validasi dari orang sekitar. Dan di tengah semuanya, impian tentang financial freedom disebarkan sebagai motivasi, padahal pada kenyataannya justru membuat kita semakin terikat pada kerja tanpa henti, mengejar masa depan ideal yang belum tentu pernah datang. Kapitalisme tak hanya mengambil waktu dan tenaga kita, tapi juga membajak imajinasi tentang hidup layak.
Apa itu Budaya Tandingan?
Antonio Gramsci memperkenalkan konsep hegemoni budaya dan budaya tandingan sebagai pemahaman bahwa kekuasaan tidak hanya dipertahankan lewat paksaan, tetapi juga melalui dominasi ideologi dan budaya. Menurut Gramsci, kelas penguasa tidak semata-mata mengendalikan masyarakat dengan kekerasan atau hukum, melainkan melalui proses normalisasi nilai-nilai, pandangan hidup, dan norma-norma yang dianggap "wajar" oleh masyarakat. Proses ini terlihat, misalnya sistem pendidikan yang mereproduksi nilai-nilai elit. Sebagai respons terhadap dominasi tersebut, Gramsci memperkenalkan konsep budaya tandingan (counter-hegemony), yaitu upaya sadar dan terorganisir dari kelompok subculture untuk menentang narasi dominan. Budaya tandingan dibangun melalui media alternatif, seni kritis, pendidikan pembebasan, serta gerakan sosial, dengan tujuan membongkar mitos yang menguntungkan penguasa dan menghadirkan pandangan baru yang lebih adil dan membebaskan.
Counterculture atau budaya tandingan adalah bentuk budaya yang punya nilai dan cara hidup yang beda jauh dari budaya arus utama, bahkan kadang secara terang-terangan menolaknya. Biasanya, gerakan ini muncul dari keresahan sekelompok orang pada situasi sosial tertentu dan bisa mendorong perubahan besar ketika perlawanan dilakukan bersama-sama. Budaya tandingan bisa menjadi penyeimbang dari budaya dominan, karena nilai-nilai yang dibawanya dimaksudkan untuk menantang hal-hal dominan. Dilihat dari konteks sekarang, kapitalisme dan hustle culture sebagai budaya dominan, sementara slow living hadir sebagai bentuk tandingannya. Gaya hidup ini mulai banyak dipilih, terutama oleh anak muda, dan terlihat dari banyaknya konten kreator yang mengangkat tema hidup lambat dan mindfull.Â
Tren ini muncul seiring dengan banyaknya orang yang merasa lelah, jenuh, atau bahkan sakit karena tekanan kerja dan pola hidup cepat, di situasi inilah slow living muncul sebagai solusi.
Yuk, Mengenal Slow Living Lebih Jauh!