Mohon tunggu...
ANDINNI ALIYA ILMI
ANDINNI ALIYA ILMI Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswi yang tertarik dengan sastra dan seni.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gaya Hidup Slow Living: Bentuk Perlawanan terhadap Kapitalisme

20 Juni 2025   09:02 Diperbarui: 2 Juli 2025   14:55 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati Slow Living dengan Secangkir Kopi sambil Berbincang Hangat (Sumber: Fellowship Life)

Di tengah tekanan mesin kapitalisme, gerakan slow living muncul sebagai bentuk perlawanan. Ini bukan tentang malas atau menolak kerja, tapi tentang:

  1. Mengambil kembali kendali atas waktu. Bekerja cukup, bukan bekerja sampai lupa diri.
  2. Menolak ukuran produktivitas yang semu. Produktif bukan berarti menyelesaikan 100 tugas sehari, tapi punya energi untuk hal-hal yang benar-benar penting.
  3. Memulihkan relasi dengan diri dan alam. Memasak dengan mindful, jalan kaki tanpa terburu-buru, atau menikmati percakapan tanpa mengecek ponsel.

Akar gerakan ini bisa ditelusuri ke budaya tandingan (counter-culture) 1960-an, ketika anak muda menolak materialisme dengan hidup komunitas, membuat musik protes, dan mengeksplorasi spiritualitas alternatif. 

Tapi slow living juga punya kelemahan karena cenderung hanya bisa diakses oleh mereka yang punya privilege, risiko dikomersialisasi ketika korporasi  mengubahnya menjadi tren lifestyle, dijual lewat paket yoga mahal atau planner produktivitas yang kini banyak bermunculan. 

Supaya gaya hidup slow living nggak cuma jadi tren kelas menengah yang jadi pelarian dari stres hidup modern, kita perlu melihatnya sebagai bagian dari perjuangan yang lebih besar. Artinya, gerakan ini harus ikut mendorong perubahan dalam sistem sosial dan ekonomi kita. Misalnya, dengan mendukung kebijakan kerja yang lebih manusiawi seperti upah yang layak ataupun jam kerja yang lebih singkat (misalnya 6 jam sehari). 

Slow living bukan berarti hidup santai tanpa penghasilan, tapi memilih untuk menjalani hidup dengan ritme yang lebih tenang demi menciptakan keseimbangan, keadilan, dan kualitas hidup yang lebih layak bagi semua. 

Dengan demikian, kapitalisme telah mencuri sumber daya yang tidak bisa diproduksi ulang, sangat berharga, yaitu waktu. Dalam dunia yang terus menuntut kecepatan dan produktivitas, slow living mengingatkan bahwa hidup bukanlah perlombaan tanpa garis akhir. Namun, perlawanan tidak cukup hanya dengan memperlambat hidup secara individu. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa dunia yang lebih adil mungkin tercipta jika kita memperjuangkan ruang untuk hidup yang lebih manusiawi, walau terdengar sedikit utopis.

Sumber:

De Jesus, C. X. C. (2022). Cultural hegemony and counter-culture undertakings: A review of related literature. Polytechnic University of the Philippines, College of Communication, Department of Broadcasting.

Hiariej, E. (2006). Perkembangan Kapitalisme Negara di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10(1), 91-120. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun