Kesaktian Pancasila pada akhirnya bergantung pada kesediaan kita untuk mengembalikan akal sehat politik bangsa. Artinya, belajar mendengar yang berbeda, mengutamakan dialog, dan menolak segala bentuk ekstremisme baik kanan maupun kiri, agama maupun ideologi.
Dalam situasi politik yang akan terus dinamis menuju Pemilu 2029, ujian bagi Pancasila justru semakin berat. Ia bisa menjadi tameng, atau sekadar tameng retoris. Semua tergantung pada kita: apakah mau menjadikannya pedoman hidup, atau hanya simbol tahunan yang dibacakan tanpa makna. Pancasila tidak butuh disakralkan berlebihan, yang dibutuhkan adalah dipraktikkan dengan kesadaran. Itulah bentuk kesaktiannya yang paling sejati.
Hari Kesaktian Pancasila seharusnya tidak hanya diisi dengan upacara, tetapi juga dengan refleksi dan koreksi. Apakah kita masih berpegang pada nilai-nilainya? Apakah kita masih menempatkan persatuan di atas perbedaan?Jika jawabannya belum, maka tugas kita adalah menghidupkan kembali roh Pancasila bukan di dinding sekolah atau pidato kenegaraan, tetapi dalam cara kita berpikir, berdebat, dan bertindak. Dalam hal ini, Kesaktian Pancasila sejatinya adalah kesaktian bangsa dalam menjaga kewarasan bersama.
Â
Penulis:Â Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja, MM
(Pemerhati Sosial Politik Pascasarjana Uhamka Jakarta, Bendahara Perkumpulan Dosen Peneliti Indonesia, dan Wakil Ketua PDM Kota Depok)
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI