Mohon tunggu...
Andi Maulana
Andi Maulana Mohon Tunggu... Kamus Institute / Penulis Opini dan Berita

Lulusan S1 Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pamulang Tahun 2023. Berpengalaman dalam penyusunan dokumen hukum, pengembangan organisasi masyarakat, pendidikan, dan advokasi hukum. Memiliki semangat kolaborasi yang tinggi, kemampuan kepemimpinan yang baik serta keterampilan dalam menulis dan membuat konten berita.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pancasila di Tengah Polarisasi: Mengembalikan Akal sehat Politik Bangsa

5 Oktober 2025   20:17 Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:27 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja, MM saat di Kantor Konsulat Jenderal Osaka, Jepang.

DEPOK -Tanggal 1 Oktober selalu menjadi momen refleksi tentang arti Kesaktian Pancasila. Setiap tahun, bangsa ini diajak mengingat kembali betapa pentingnya lima sila itu menjadi penuntun arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, di tengah situasi sosial politik yang semakin terpolarisasi, makna kesaktian itu kerap hanya berhenti sebagai seremoni kenegaraan, bukan kekuatan moral yang mengikat nurani bangsa.

Pancasila Diuji oleh Polarisasi

Sejak beberapa tahun terakhir, ruang publik kita dipenuhi oleh narasi-narasi yang membelah. Perdebatan politik tak lagi sehat; ia berubah menjadi pertarungan identitas, bahkan permusuhan sosial. Media sosial menjadi arena tempur, di mana logika dikalahkan oleh fanatisme dan informasi benar dikubur oleh sensasi.

Dalam suasana seperti ini, Pancasila sedang diuji kesaktiannya. Ideologi yang seharusnya menjadi perekat justru sering dijadikan alat legitimasi kepentingan kelompok. Banyak pihak mengaku paling Pancasilais, namun perilakunya jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Padahal, semangat Pancasila bukan untuk menonjolkan siapa paling benar, melainkan untuk memastikan semua pihak tetap berada dalam koridor persatuan.

Krisis Akal Sehat Politik

Salah satu tanda paling nyata bahwa Pancasila mulai kehilangan pengaruh substantif adalah menurunnya akal sehat dalam politik. Rasionalitas publik dikaburkan oleh propaganda dan narasi hitam-putih. Oposisi dianggap musuh, kritik dimaknai sebagai kebencian, dan loyalitas sering diukur dari seberapa keras seseorang membela figur, bukan gagasan.

Dalam konteks ini, Kesaktian Pancasila harus dimaknai sebagai kesaktian akal sehat, yakni kemampuan bangsa untuk tetap berpikir jernih, berdebat secara beradab, dan mengutamakan kepentingan bersama. Nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan seharusnya menjadi pagar moral yang menahan kita dari keterbelahan ekstrem.

Media Sosial dan Perang Persepsi

Fenomena polarisasi politik tidak bisa dilepaskan dari peran media sosial. Algoritma yang diciptakan untuk menyenangkan pengguna justru membangun ruang gema (echo chamber) di mana orang hanya mendengar pendapat yang sejalan dengannya. Akibatnya, kemampuan untuk memahami perbedaan semakin menurun.

Dalam suasana seperti itu, Pancasila perlu hadir dalam ruang digital bukan sebagai jargon normatif, tetapi sebagai nilai yang dihidupkan. Misalnya, prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat diterjemahkan sebagai etika berdigital: menghormati perbedaan pandangan, menolak ujaran kebencian, dan menumbuhkan empati dalam berkomunikasi.

Generasi muda, sebagai pengguna terbesar media sosial, memiliki peran penting dalam mengembalikan etika publik berbasis nilai-nilai Pancasila. Karena itu, pendidikan karakter dan literasi digital yang berlandaskan Pancasila harus menjadi prioritas, bukan hanya slogan.

Pancasila Sebagai Jalan Tengah dan Pemersatu 

Di tengah perpecahan yang makin tajam, bangsa ini memerlukan jalan tengah Pancasila sebagai sebuah titik temu antara keberagaman pandangan dan kepentingan politik. Jalan tengah ini bukanlah kompromi kosong, melainkan wujud kebijaksanaan kolektif untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Dalam ruang publik yang sering dipenuhi ujaran kebencian dan kecurigaan, Pancasila menjadi penuntun agar bangsa ini tidak kehilangan arah dan akal sehat.

Sejarah menunjukkan, ketika Pancasila benar-benar dihayati, bangsa ini mampu melewati berbagai krisis besar: dari pemberontakan ideologi, konflik sosial, hingga transisi politik yang menguras energi nasional. Setiap kali bangsa ini terguncang, Pancasila hadir bukan sekadar sebagai semboyan, tetapi sebagai kekuatan moral yang menuntun jalan keluar. Kekuatan sejati Pancasila memang tidak terletak pada teksnya, melainkan pada kesediaan kolektif bangsa untuk menaatinya dengan kesadaran penuh.

Kesaktian Pancasila bukan berarti ia kebal dari guncangan, melainkan kemampuannya untuk bangkit setiap kali diuji. Ia tidak rapuh oleh perubahan zaman karena berakar pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Seperti dalam tubuh manusia, kekuatan imun Pancasila terletak pada rakyat yang mempraktikkan nilai-nilainya dalam tindakan sehari-hari --- bukan pada pejabat yang sekadar mengucapkannya di podium. Semakin banyak warga yang mengamalkannya secara nyata, semakin kuat daya tahan bangsa terhadap segala bentuk perpecahan.

Karena itu, Pancasila harus kembali ditempatkan sebagai fondasi dialog kebangsaan, bukan sekadar simbol yang diperingati setiap tahun. Di tengah derasnya perbedaan pilihan politik, orientasi ekonomi, dan pandangan keagamaan, Pancasila memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk berdiri sejajar dalam keragaman. Ia mengajarkan bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan yang jika dikelola dengan semangat gotong royong justru memperkuat daya tahan bangsa menghadapi berbagai tantangan zaman.

Lebih dari sekadar dasar negara, Pancasila adalah ruh persatuan nasional yang menuntun kita untuk terus mencari titik temu di tengah perbedaan. Di era disrupsi dan derasnya arus informasi, bangsa ini membutuhkan keteguhan baru untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara kritik dan keadaban. Jalan tengah Pancasila bukan berarti jalan tanpa sikap, tetapi jalan yang mengutamakan kebersamaan sebagai kekuatan utama bangsa Indonesia.

Membangun Ketahanan Ideologi di Era Terbuka

Di era globalisasi dan digitalisasi yang begitu cepat, ancaman terhadap ketahanan ideologi tidak datang dalam bentuk militer, melainkan perang narasi. Ideologi asing, gaya hidup konsumtif, hingga politik identitas global menyusup melalui layar ponsel. Dalam kondisi ini, Pancasila harus tampil adaptif tanpa kehilangan prinsip.

Negara perlu memperkuat pendidikan ideologi secara kontekstual bukan dengan doktrin, tapi dengan keteladanan dan relevansi. Anak muda harus merasakan bahwa Pancasila bukan sekadar hafalan lima sila, tetapi kompas moral untuk menjawab persoalan modern seperti ketimpangan, intoleransi, dan krisis kepercayaan publik.

Meneguhkan Kembali Akal Sehat Bangsa

Kesaktian Pancasila pada akhirnya bergantung pada kesediaan kita untuk mengembalikan akal sehat politik bangsa. Artinya, belajar mendengar yang berbeda, mengutamakan dialog, dan menolak segala bentuk ekstremisme baik kanan maupun kiri, agama maupun ideologi.

Dalam situasi politik yang akan terus dinamis menuju Pemilu 2029, ujian bagi Pancasila justru semakin berat. Ia bisa menjadi tameng, atau sekadar tameng retoris. Semua tergantung pada kita: apakah mau menjadikannya pedoman hidup, atau hanya simbol tahunan yang dibacakan tanpa makna. Pancasila tidak butuh disakralkan berlebihan, yang dibutuhkan adalah dipraktikkan dengan kesadaran. Itulah bentuk kesaktiannya yang paling sejati.

Hari Kesaktian Pancasila seharusnya tidak hanya diisi dengan upacara, tetapi juga dengan refleksi dan koreksi. Apakah kita masih berpegang pada nilai-nilainya? Apakah kita masih menempatkan persatuan di atas perbedaan?Jika jawabannya belum, maka tugas kita adalah menghidupkan kembali roh Pancasila bukan di dinding sekolah atau pidato kenegaraan, tetapi dalam cara kita berpikir, berdebat, dan bertindak. Dalam hal ini, Kesaktian Pancasila sejatinya adalah kesaktian bangsa dalam menjaga kewarasan bersama.

 

Penulis: Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja, MM

(Pemerhati Sosial Politik Pascasarjana Uhamka Jakarta, Bendahara Perkumpulan Dosen Peneliti Indonesia, dan Wakil Ketua PDM Kota Depok)

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun