Mohon tunggu...
Andil H Siregar
Andil H Siregar Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMA Budi Murni 3 Medan - SMP Budi Murni 3 Medan (YPK Don Bosco)

Guru di SMA Budi Murni 3 Medan dan SMP Budi Murni 3 Medan (YPK Don Bosco KAM) Pegiat Literasi di TWF

Selanjutnya

Tutup

Nature

Bertani, Masikah Menarik?

21 Mei 2019   14:15 Diperbarui: 21 Mei 2019   14:16 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dewasa ini profesi petani atau anak petani tidak lagi menarik bagi kaum muda kita. Barangkali itu juga yang membuat saya tidak melanjutkan kembali profesi ayah saya sebagai petani. Tentu tidak hanya saya demikian. Banyak anak-anak petani lain yang seperti saya. Mengapa demikian? Pertama, karena anggapan kaum milenial saat ini petani adalah kurang bergengsi atau tidak kren untuk disampaikan.

Kedua, kaum muda banyak beranggapan bahwasanya petani tidak memberikan jaminan finansial dan tak memberi kepastian. Dalam data BPS 2017, misalnya, disebutkan bahwa indeks yang diterima petani hanya sebesar RP127,96. Bandingkan dengan indeks yang harus dibayar: sebesar 131,37. Petani benar-benar dirugikan. Mereka rugi secara tenaga, rugi pula secara materi. Pemerintah seperti tak benar-benar mendukung profesi petani. Justru, ada kesan, pemerintah lebih mengarahkan generasi muda ke profesi lainnya.

Dua hal tadi menjadi faktor utama  kaum muda berpikir ulang jadi petani. Apalagi buat mereka-mereka yang masih jomblo. Profesi petani seperti tidak menarik untuk disampaikan kepada gadis pujaanya. Mereka tersadar akan cepat ditolak ketika mengetahui bahwasanya mereka adalah seorang petani. Barangkali kita bisa tertawa dengan pernyatan saya tadi.  Akan tetapi faktanya demikian yang terjadi bukan? Andaikan ada anak gadis kita mau menikah dengan seorang pemuda yang berprofesi petani, apa tanggapan kita? Barangkali kita akan berkata pada anak kita: Tak adakah pilihan yang lain?

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pernah melakukan riset di tahun  2015 dan menyimpulkan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi krisis regenerasi petani. Mungkin kita berkata kesimpulan itu terlalu jauh, karena hingga saat ini kita masih cukup mudah mendapatkan makanan, sepanjang kita masih punya uang. Jika pangan masih tersedia, berarti masih banyak petani dinegeri ini.

Benar, untuk saat ini kita patut berlega hati karena menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2018, jumlah pekerja di sektor pertanian masih tergolong besar. Tercatat 35,7 juta orang atau 28,79 persen dari total penduduk bekerja sebagai petani. Akan tetapi ketika di tahun 2045, yang konon katanya kita akan menuju generasi emas dan industri 4.0 masihkah keadaanya seperti itu?

Barangkali jumlah petani dimasa itu akan semakin tergerus. Kaum melenial sekarang yang menjadi petani kelak barangkali akan semakin sedikit. Karena profesi yang lain jauh lebih menarik bagi mereka daripada sebagai petani. Parahnya mereka yang mengambil jurusan pertanian di universitas sekalipun, ketika sudah sarjana kebanyakan  bekerja diluar lingkup pertanian. Menyikapinya saya sejenak teringat dengan ucapan Paulo Coelho : "Agar bisa bisa menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan begitulah ceritanya sehingga dunia kehilangan banyak petani." Iya, sarjana pertanian sekalipun sudah enggan untuk bertani, bagaimana pula dengan generasi milenial yang lain? Kadang kala kita bertanya untuk apa jurusan pertanian menerima mahasiswa banyak-banyak? Kalau pada akhirnya mereka tidak ikut terjun langsung menyelesaikan persoalan-persoalan pertanian di negeri kita ini.

Ada Apa Dengan Sarjana Pertanian Kita?

Lantas mengapa banyak para sarjana pertanian tadi tidak ikut serta ambil bagian dalam mengembangkan pertanian kita? Jawabanya akan kembali pada masalah yang sampaikan diatas. Selain itu pemerintah sepertinya tak sepenuhnya hadir untuk mengedukasi dan menyadarkan generasi muda tentang takdir bangsa ini. Kementrian pertanian belum berupaya maksimal dan memberi jaminan bahwasanya profesi pertanian juga merupakan profesi yang potensial untuk dikembangkan.

Periksalah, misalnya, data dari BPS dan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis). Di sana disebutkan bahwa pertumbuhan harga beras periode 2007-2016 mencapai angka 124,2 persen. Sementara harga gabah kering giling hasil panen hanya 99,6 dan 99,2 persen. Maka, kita tak perlu terkejut lagi jika generasi muda kita ogah bertani. Betapa tidak, menurut Arif Budimanta, pendapatan mereka hanya kisaran Rp438.125,00-Rp692.563,00. Jikalau anda diminta untuk bertani,  maukah anda hidup dengan pendapatan itu?

 Jika menjadi petani tidak lagi menarik bagi kaum muda kita saat ini, bukankah kita pada nantinya akan menuju krisis pangan? Banyaknya generasi petani tentu sebanding dengan jumlah ketersedian pangan kita. Penduduk yang pasti bertambah tentu membutuhkan ketersedian pangan yang banyak  juga kelak. Sementara populasi kita bertambah, ketersedian  lahan dan jumlah pemuda yang menjadi petani kita justru sebaliknya. Gejala ini sudah benar-benar terlihat. Ini terafirmasikan dalam laporan Sensus Pertanian 2013, bahwa pemuda yang bekerja di sektor pertanian menurun dalam 10 tahun belakangan. Seturut kemudian, lahan pertanian pun menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 tercatat 7,1 juta hektare (ha). Luasan itu menurun jika dibandingkan tahun 2017, yakni seluas 7,75 juta ha.

Solusi yang Bisa Kita Tawarkan

Lantas bagaimana kita menyikapinya? Apa solusi yang kita tawarkan? Tentu  kita harus menuntaskan dua masalah tadi yaitu menaikkan nilai tawar dari profesi petani serta memastikan bahwa profesi itu tidak minim finansial. Jika kita lihat sesungguhnya peluang profesi pertanian di Indonesia cukup menjanjikan mengingat lahan yang masih cukup luas dan subur menjadikan kita negara agraris. Coba bandingkan dengan Israel yang negaranya kecil dan diantara padang gurun tetapi pertanianya sangat bagus.

Israel adalah Negara yang Berada di Timur Tengah dan dikelilingi oleh 22 Negara Arab. Luas  negara Israel yang hanya seluas empat kali Pulau Bali ini, memiliki geografi lahan padang pasir nan tandus. Tetapi, mengapa mereka bisa menjadi penjual buah-buahan dan sayur-sayuran terbesar keempat di dunia? Sharusnyai peluang itu lebih tepat dialamatkan pada bangsa kita mengingat tanah kita subur dan lebih luas. Akan tetapi nyatanya tidak demikian bukan?

Untuk menutaskan masalah tadi, langkah pertama yang kita lakukan adalah dengan memperbaiki sistem pengelolaan pertanian kita. Sistem pengelolaan pertanian ini harus siap menyongsong masa bonus demografi kita. Sistem ini haruslah terkoneksi dengan dengan lembaga lembaga riset dan universitas universitas yang memiliki fakultas pertanian. Walau kita tak berhubungan diplomatik dengan  Israel, bolehlah kita mencontoh cara mereka dalam bertani.

Israel memiliki salah satu organisasi riset di bidang pertanian yang disebut  ARO (Agricultural Research Organization). Lembaga inilah yang betul-betul membenahi pertanian mereka. Di Dalam ARO ada 6 Lembaga. Yang Terdiri dari Ahli Bibit Tanaman Unggul dan Hewan, Ahli Perlindungan Tanaman, Ahli Tanah, Ahli Air, Ahli Ilmu Lingkungan dan Ahli Teknik Teknologi Pertanian. Selain ARO. Sebenarnya ada Juga Beberapa Ahli lainnya. Yaitu Ahli Unit Komputer Khusus Tanaman, Ahli BioFilter, Ahli Genomics, Ahli Bio Informatika, dan masih banyak lagi.

Kedepan kita berharap ada lembaga seperti ARO tadi di negeri kita. Lembaga ini,  bisa saja berada dibawah naungan langsung Kementrian Pertanian. Lembaga ini nantinya kita harapkan terkoneksi dengan universitas-universitas yang memiliki jurusan pertanian, LIPI, para petani dan pelaku industri pertanian. Sehingga dengan adanya lembaga ini, kedepan dapat dirumuskan dan dihasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat guna.

Langkah kedua yang harus kita lakukan adalah memperbaiki proses pemasaran hasil pertanian kita. Barangkali salah satu contoh yang bisa dibuat adalah dengan menghidupkan kembali koperasi unit desa (KUD). Masing-masing KUD ini kita harapkan kedepan terkoneksi dengan pengolahan industri makanan dan pihak terkait. Sehingga produk-produk pertanian yang ada di KUD dapat di akomodir oleh para pelaku industri pertanian. Dengan adanya KUD ini, jatuhnya harga produk pertanian di pasar dapat di tekan karena sudah di akomodir pelaku industri pertanian. Selain itu lewat KUD ini bisa menjadi wadah para petani untuk bertukar pikiran, mencari solusi akan masalah pertanian dan juga membantu penyedian modal usaha pertanian.

Setelah dua langkah tadi, langkah terakhir adalah mengkampanyekan pertanian sebagai salah satu bidang yang menjanjikan di masa depan. Jika kedua langkah yang saya paparkan diatas sudah bisa kita optimalkan, saya yakin kampanye "Ayo Bertani" akan lebih mudah kita lakukan. Hal sederhana yang dapat kita lakukan dengan memberikan pemahaman bahwasanya ada juga petani yang bisa kaya dari profesi itu. Sebut saja Stewart and Lynda Resnick. Dari usaha pertanian, kedua pasangan petani ini memperoleh kekayaan hingga US$ 3,9 miliar atau sekitar Rp 55 triliun. Demikian halnya dengan Harry Stine, meraup banyak untung dari budi daya kedelai.  Berkat budi daya kedelai, Stine berhasil menumbuhkan kekayaan hingga US$ 3,4 miliar atau sekitar Rp 48 triliun. Selain mereka ada juga Howard Buffett, Colin Armer, Dale Armer dan petani sukses lainya.

Di Indonesia sendiri ada beberapa sosok muda yang peduli dengan pertanian seperti Yohanes Sugihtononugroho dan Muhammad Risyad. Mereka berdua berkolaborasi untuk membantu mengatasi kekurangan modal para petani dengan mendirikan bisnis bernama Crowde. Sepanjang tahun 2017, Crowde berhasil menyalurkan dana sebesar 15 Miliar kepada 5 ribu petani yang ada di 276 desa. Tentu selain mereka masih banyak sosok yang peduli dengan petani kita. Untuk kita kaum muda yang tertarik dengan pertanian dapat belajar dari para petani kaya tadi. Karena sesungguhnya masih banyak peluang pertanian yang bisa digeluti kaum muda.

Dengan mengoptimalkan ketiga langkah tadi kita berharap bahwasanya profesi petani dapat menarik perhatian kaum muda kita. Hingga keraguan akan pertanyaan:  Bertani, masikah menarik?" dapat kita jawab dengan baik. Hingga kita dapat meyakinkan generasi muda kita. Menutup tulisan ini saya sejenak teringat akan lagu Iwan Fals: "Tanah-tanah suburmu sudah menjadi ranjang industri. Menjadi ayunan ambisi-ambisi, demi gengsi demi aksi. Untuk apa sawah-sawah, pak taniku sudah pergi"

Saya berharap, kecemasan yang ada didalam lagu ini tidak akan membayangi kita di masa depan. Baiklah tanah-tanah subur tadi, tidak semata menjadi ranjang industri. Melainkan tetap menjadi ranjang pangan, buat masa depan bangsa kita. Yang harus kita lakukan adalah menarik mereka, bukan mengusir pak tani pergi. Karena apabila semua petani kita sudah pergi, darimana lagi kita akan mendapatkan pangan? Mari kita jawab dalam hati kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun