Indonesia sedang berada di tengah gelombang keresahan sosial. Polemik terhadap kebijakan pemerintah memicu masyarakat turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan kekecewaan. Demonstrasi yang berlangsung di berbagai wilayah membawa beragam tuntutan, dari isu ekonomi hingga politik. Namun, ada hal lain yang ikut mengiringi: banjir informasi yang luar biasa deras.
Media sosial, portal berita, dan percakapan sehari-hari dipenuhi kabar tentang aksi massa. Sayangnya, tidak semua informasi akurat. Rumor simpang siur, narasi provokatif, hingga foto atau video yang dilepas tanpa konteks ikut beredar luas. Alih-alih membantu memahami situasi, derasnya informasi justru membebani pikiran.
Beban Kognitif dalam Situasi Krisis
Dalam psikologi kognitif, terdapat konsep Cognitive Load Theory (Atkinson & Shiffrin, 1968). Teori ini menjelaskan bahwa otak manusia hanya punya kapasitas terbatas untuk memproses informasi. Ketika informasi datang terlalu banyak dan terlalu cepat, otak akan mengalami overload.
Overload ini membuat kita sulit membedakan mana informasi penting dan mana yang sekadar noise. Akibatnya, alih-alih mencerna informasi baru secara kritis, otak memilih jalan pintas yaitu mempercayai informasi yang sering muncul, mengikuti narasi yang paling emosional, Atau menerima cerita yang paling sederhana.
Dengan kata lain, dalam kondisi lelah kognitif, masyarakat berpotensi lebih mudah mempercayai hoaks dan provokasi.
Krisis Informasi = Krisis Mental
Pada kondisi normal, sebagian orang masih bisa meluangkan waktu untuk fact-checking atau menunda kesimpulan sebelum membagikan informasi. Namun, dalam situasi krisis seperti demonstrasi besar atau kerusuhan politik, energi mental terkuras habis oleh rasa takut, cemas, dan marah.
Penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa stres tinggi menurunkan kapasitas kognitif. Otak kita lebih sibuk mengatur emosi dan rasa aman daripada memeriksa detail informasi. Maka tak heran, kabar provokatif yang sederhana seperti "aksi demonstrasi = rusuh" lebih cepat dipercaya ketimbang laporan panjang yang berusaha menjelaskan duduk perkara.
Pola Provokasi di Era Digital