Mohon tunggu...
Andi Khaerul Imam
Andi Khaerul Imam Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada

Saya Andi Khaerul Imam, mahasiswa Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada dengan peminatan Mind, Brain, and Performances. Ketertarikan saya berfokus pada diskusi dan bacaan seputar psikologi, khususnya yang berkaitan dengan kognisi manusia. Lewat tulisan ini, saya berusaha menuangkan gagasan yang dapat didiskusikan, sekaligus membuka ruang untuk bertukar perspektif. Harapan saya, setiap tulisan yang hadir bukan hanya menjadi refleksi pribadi, tetapi juga memberi manfaat dan kontribusi bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beban Kognitif di Tengah Aksi Massa

2 September 2025   21:36 Diperbarui: 2 September 2025   21:36 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aksi Massa (Sumber: Duncan Shaffer on Unsplash)

Indonesia sedang berada di tengah gelombang keresahan sosial. Polemik terhadap kebijakan pemerintah memicu masyarakat turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan kekecewaan. Demonstrasi yang berlangsung di berbagai wilayah membawa beragam tuntutan, dari isu ekonomi hingga politik. Namun, ada hal lain yang ikut mengiringi: banjir informasi yang luar biasa deras.

Media sosial, portal berita, dan percakapan sehari-hari dipenuhi kabar tentang aksi massa. Sayangnya, tidak semua informasi akurat. Rumor simpang siur, narasi provokatif, hingga foto atau video yang dilepas tanpa konteks ikut beredar luas. Alih-alih membantu memahami situasi, derasnya informasi justru membebani pikiran.

Beban Kognitif dalam Situasi Krisis

Dalam psikologi kognitif, terdapat konsep Cognitive Load Theory (Atkinson & Shiffrin, 1968). Teori ini menjelaskan bahwa otak manusia hanya punya kapasitas terbatas untuk memproses informasi. Ketika informasi datang terlalu banyak dan terlalu cepat, otak akan mengalami overload.

Overload ini membuat kita sulit membedakan mana informasi penting dan mana yang sekadar noise. Akibatnya, alih-alih mencerna informasi baru secara kritis, otak memilih jalan pintas yaitu mempercayai informasi yang sering muncul, mengikuti narasi yang paling emosional, Atau menerima cerita yang paling sederhana.

Dengan kata lain, dalam kondisi lelah kognitif, masyarakat berpotensi lebih mudah mempercayai hoaks dan provokasi.

Krisis Informasi = Krisis Mental

Pada kondisi normal, sebagian orang masih bisa meluangkan waktu untuk fact-checking atau menunda kesimpulan sebelum membagikan informasi. Namun, dalam situasi krisis seperti demonstrasi besar atau kerusuhan politik, energi mental terkuras habis oleh rasa takut, cemas, dan marah.

Penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa stres tinggi menurunkan kapasitas kognitif. Otak kita lebih sibuk mengatur emosi dan rasa aman daripada memeriksa detail informasi. Maka tak heran, kabar provokatif yang sederhana seperti "aksi demonstrasi = rusuh" lebih cepat dipercaya ketimbang laporan panjang yang berusaha menjelaskan duduk perkara.

Pola Provokasi di Era Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun