Hidup tidak pernah hadir dalam satu warna. Ia adalah kanvas yang terus diwarnai oleh dua kutub yang saling bertolak belakang---luka yang kelam dan sukacita yang terang. Kita sering kali mengeluh ketika kegelapan datang, seolah-olah dunia telah berhenti berputar. Namun, pernahkah menyadari bahwa justru dalam kelam itu, mata kita belajar melihat cahaya dengan lebih jelas?
Tangan mungil itu gemetar memegang krayon hitam. Tanpa sengaja, garis tebal dan kaku melukai pelangi indah yang hampir rampung. Air mata bocah itu jatuh membasahi kertas gambar, membuat warnanya melebar seperti rasa kecewa yang tak terbendung. Namun sang ibu tak buru-buru merobek kertas itu. Dengan sabar, jemarinya menari mengubah kesalahan menjadi batang pohon yang kokoh. "Lihat sayang," bisiknya lembut, "kadang yang kita anggap buruk, justru memberi arti pada keindahan yang sesungguhnya."
Pernahkah memperhatikan bagaimana malam selalu bergantian dengan pagi? Bagaimana laut tidak pernah protes saat ombaknya surut? Alam semesta adalah guru terbaik dalam mengajarkan bahwa tidak ada terang tanpa gelap, tidak ada bahagia yang utuh tanpa pernah merasakan luka. Seekor kupu-kupu yang dibantu keluar dari kepompongnya akan mati lemas. Proses perjuangan itulah yang memompa cairan kehidupan ke sayap-sayapnya. Kita manusia seringkali ingin bahagia instan, lupa bahwa jiwa pun butuh yang namanya "cairan kehidupan" dari setiap tetes air mata yang jatuh.Â
Di Kyoto, seorang empu kintsugi dengan telaten mengoleskan emas cair pada retakan vas antik. "Ini bukan memperbaiki," katanya sambil tersenyum, "tapi memberi kehormatan pada setiap luka yang membuatnya unik." Vas itu kini lebih berharga daripada saat masih utuh. Sama seperti Van Gogh yang justru melukis "Starry Night" dalam sel penjara sakit jiwanya. Bintang-bintangnya berputar liar, tapi justru dalam kegilaan itulah lahir keindahan yang menyentuh jiwa. Luka-luka kita? Mereka adalah emas dan bintang yang menunggu untuk bersinar.
Ada sebuah penelitian yang mengikuti korban kecelakaan traumatis. Satu dekade kemudian, 7 dari 10 orang justru merasa lebih kuat. Seperti tulang yang patah lalu menyambung lebih kokoh, seperti tanah yang diguncang gempa lalu menemukan bentuk baru yang lebih stabil. Nelson Mandela menghabiskan 27 tahun dalam sel sempit Robben Island. Tapi di sanalah lahir kata-katanya yang abadi: "Penderitaan memberi kedalaman. Kebebasan memberi dimensi." Kita tak pernah sama setelah melewati badai, dan itu tidak masalah. Karena mungkin kita memang tidak dimaksudkan untuk tetap sama.
Coba tanyakan pada petani yang menanti hujan setelah kemarau panjang. Atau pada seorang ibu yang pertama kali mendengar tangis bayinya setelah 20 jam kesakitan. Ada kebahagiaan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah merasakan dahaga dan kepedihan. Seperti bintang yang hanya terlihat jelas di langit gelap. Seperti pelukan yang terasa paling hangat setelah hari-hari yang dingin. Kebahagiaan yang datang setelah kesulitan bukan sekadar kebahagiaan - itu adalah pahala jiwa yang telah bertahan.
Malam ini, mungkin ada seseorang yang sedang menatap langit dengan hati remuk. Untukmu, ingatlah bahwa lukisan terindah selalu memiliki bayangan. Bahwa musik terbaik memiliki nada rendah. Bahwa cinta terkuat sering lahir dari hati yang pernah patah. Garis hitam di kertas hidupmu hari ini? Tunggulah sebentar. Suatu saat nanti, ia akan menjadi batang pohon tempat pelangi bersandar. Seperti kata Rumi, "Cahaya masuk melalui celah-celah yang retak." Dan melalui retakan-retakan hatimu yang sedang sembuh itulah, terang akan menemukan jalan untuk masuk. Perlahan. Pasti. Seperti fajar yang tak pernah ingkar janji.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI